Jantung Rangga berdetak semakin kencang, langkahnya terhenti di depan sebuah cafe berkonsepkan modern-minimalis. Matanya nanar menatap ke dalam cafe tersebut, mencari sosok yang sudah menanti dirinya sejak tadi. Tatapannya terpaku di meja yang terletak di sudut belakang cafe, tepat ke arah seorang pemuda yang tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Dia masih termangu di tempatnya berdiri, ragu untuk mendekat. Pemuda itu memiringkan kepala lalu melambaikan tangannya untuk kedua kalinya, memintanya untuk segera mendekat. Beberapa pengunjung cafe menatap ke arah Rangga berdiri lalu menatap pemuda tersebut dengan tatapan aneh. Beberapa diantara mereka nampak berbisik-bisik, yang lain hanya menggelengkan kepala lalu melanjutkan kesibukan masing-masing.
"Rangga?" tanya pemuda itu ketika dia berdiri di hadapannya. Yang ditanya tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. "Silahkan duduk." lanjutnya lagi.
Rangga menjatuhkan diri ke sofa di seberang pemuda itu duduk. Pemuda itu menatapnya lekat, lalu tersenyum. Entah mengapa tatapan pemuda itu terasa aneh, seolah-olah mampu membaca pikiran dan isi hatinya. Rangga menunduk, risih dipandangi seperti itu oleh orang yang baru kali ini bertemu muka dengannya.
Rangga menjilati bibirnya lalu membuka mulutnya, "Kamu Kelvin?"
Pemuda itu menaikkan satu alisnya kemudian tersenyum lalu mengangguk pelan. Diraihnya cangkir di hadapannya, kemudian dengan perlahan menyeruput teh yang masih mengepulkan asap. "Jadi ada apa mencariku?"
"Aku butuh bantuanmu..." ucap Rangga setengah berbisik.
Kerongkongan Rangga yang terasa kering ditambah rasa gugup yang terus mendera membuatnya harus berdehem beberapa kali. Dilambaikan tangannya ke arah pramusaji yang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Pramusaji itu hanya diam memandanginya, tak bergerak sedikit pun. Kesal, Rangga kembali melambaikan tanganya memanggil pramusaji itu. Tetap saja pramusaji tersebut tidak beranjak. Rangga menggerutu pelan sambil menurunkan tangannya.
"Mau pesan minuman apa?" tanya Kelvin tiba-tiba.
"Ehm, cappuccino aja"
"Panas?"
Rangga mengangguk pelan. Kelvin melambaikan tangannya, kali ini pramusaji tersebut langsung datang menghampiri mereka.
"Jadi secangkir cappuccino panas ya, mas?" pramusaji tersebut mengulang pesanan Kelvin. Baik Kelvin maupun Rangga langsung mengangguk.
"Mbak, kupanggil dari tadi ga datang-datang. Giliran mas ini yang panggil langsung datang. Ada masalah sama aku ya?" cerocos Rangga kesal. Pramusaji itu hanya berbalik lalu berjalan menjauh, sama sekali tak acuh dengan perkataan Rangga.
Kurang ajar sekali dia, dipikirnya aku ga sanggup bayar kali, batin Rangga kesal.
Kelvin tersenyum geli, kemudian dipandanginya Rangga lekat-lekat. "Kamu benar-benar belum tahu ya?"
"Apa?" Rangga bertanya balik, bingung dengan pertanyaan Kelvin yang menurutnya aneh.
Kelvin mengendikkan bahunya. "Lupakan saja. Jadi, kurasa banyak hal yang akhir-akhir ini membuatmu merasa aneh kan? Banyak perubahan yang terjadi di hidupmu untuk... ehm... beberapa hari belakangan ini?"
Rangga terbelalak kaget. "Kamu... Bagaimana kamu tahu?"
"Hanya menebak," Kelvin menopang dagunya dengan kedua tangannyai, dia masih menatap Rangga. "Jadi, sudah berapa lama kamu mengalami kejadian ini?"
Rangga mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat-ingat, kemudian menggeleng lemah. "Aku tidak ingat sama sekali sudah berapa lama ini terjadi. Yang kutahu suatu hari aku bangun di kamar kostku, mandi, kemudian berangkat kuliah seperti biasanya. Sesampainya di kelas, teman-teman kuliah bahkan dosenku seperti tidak melihatku. Aku dianggap tidak ada. Saat itu aku sama sekali tidak berpikiran macam-macam, karena memang pada dasarnya aku tidak banyak bergaul dengan mereka. Aku tidak punya banyak teman di kampus, kebanyakan teman-teman baikku kuliah di tempat lain"
Kelvin mengangguk pelan, tangannya kembali meraih cangkir di hadapannya, kemudian menghirup tehnya.
"Sepulangnya dari kampus, aku kembali ke kamar kostku. Berbaring sejenak, kemudian kuputuskan menelepon Silvia, kekasihku. Hubungan kami memang sedang tidak baik saat itu, dia marah kepadaku karena dipikirnya aku selingkuh dengan cewek lain," Rangga menarik nafas panjang kemudian mendesah. "Aku tidak pernah menduakan dia. Kepikiran pun tidak. Namun, ya, begitulah Silvia. Terlalu posesif dan keras kepala."
"Lalu bagaimana? Teleponmu tersambung? Diangkat sama Silvia?"
Rangga mengangguk. "Diangkat, tetapi dia sepertinya masih marah kepadaku. Dia hanya diam saja, tak berbicara sepatah kata pun sebelum akhirnya berteriak meminta aku jangan main-main lalu memutuskan sambungan teleponnya. Entah apa maksudnya..." tatapan Rangga menerawang, ada setitik air menggenang di sudut matanya.
"Mungkin dia masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diri..." ucap Kelvin lembut. Rangga mengendikkan bahu kemudian tersenyum datar."Terus tidak ada hal aneh lainnya?"
"Aneh? Maksudmu?"
Kelvin mendekatkan kepalanya ke Rangga, kemudian setengah berbisik, "Ya, peralatan elektronik yang rusak atau lampu yang mendadak padam? Bisa juga pola tidur dan makanmu yang berubah?"
Rangga terpekur, kemudian mengangguk. "Kalau ditanya seperti itu sih, ya, ada. Lampu kamar kostku memang mendadak padam beberapa hari ini, entah kenapa aku tak bisa menyalakannya. Soal pola tidur dan makan, ya, kuakui memang dari dulu pola tidur dan makanku memang berantakan. Cuma, memang akhir-akhir ini lebih parah. Bayangkan saja, aku tidak merasa lapar walau belum ada makanan yang masuk ke perutku."
"Hmm..." Kelvin mengangguk-angguk.
"Gimana dengan keluargamu?"
"Aku hampir tidak pernah menghubungi keluargaku. Hubunganku dengan keluarga tidak bisa dibilang baik. Bisa dibilang, aku akan jauh lebih baik jika semakin jauh dari mereka..."
"Hmm, teman-temanmu?"
"Hmmph, ga usah bicarain mereka deh!" ucap Rangga ketus. Kelvin menatapnya penasaran. "Mereka, yang mengaku sahabatku itu, beberapa hari ini bagaikan menghilang di telan bumi. Ditelepon ga diangkat, aku sms juga balasannya bikin keki. Masa mereka bilang aku bercanda dan pembohong!"
"Kamu tidak mencari mereka langsung?"
Rangga mengangguk, wajahnya kelihatan murung. "Ada, tapi mereka menghindariku. Sebagian malah berpura-pura tidak melihatku. Entah ada apa dengan mereka. Entah apa salahku... Kalau ini hanya lelucon, ini benar-benar lelucon yang ga lucu sama sekali..."
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pramusaji tadi kembali dengan secangkir cappuccino panas. "Masih menunggu temannya, mas?" tanya pramusaji itu kepada Kelvin sambil meletakkan cangkir ke hadapan Kelvin. Pemuda itu hanya mengangguk kecil lalu menggeser cangkir lebih dekat ke Rangga. "Silahkan dinikmati." pramusaji itu tersenyum kepada Kelvin sambil berbalik pergi.
"Hey, mbak!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Mbak, mau pesan dong!" Pramusaji tersebut tetap berjalan menjauh, sama sekali tidak menoleh atau mengacuhkan panggilan Rangga.
"Sialan banget! Ada apa sih ini? Kenapa semua orang menganggapku tidak ada!" teriak Rangga kesal. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Cangkir-cangkir di hadapan mereka tiba-tiba saja serentak bergetar pelan.
Dengan dahi berkerut, Kelvin mengetukkan telunjuk kanannya ke tepian meja dengan pelan. Sedetik kemudian cangkir-cangkir tadi mendadak berhenti bergetar. Dia menghela nafas lega kemudian ditatapnya tajam Rangga sambil berkata, "Tenang! Lebih baik kamu minum dulu sebelum kamu melanjutkan ceritamu!"
Rangga tersentak kaget mendengar hardikan Kelvin. Tubuh Kelvin memang lebih kecil jika dibandingkan dengan postur tubuh Rangga, tetapi ada sesuatu dari pemuda di hadapannya ini yang membuat nyalinya seketika menciut. Sedikit gemetar Rangga meraih cappucinno di depannya. Aroma wangi cappucinno merebak menggelitik hidung Rangga. Entah apa sebabnya kini dia merasa lebih tenang, kerongkongannya yang terasa kering tadi pun kini berkurang. Lucu sebenarnya mengingat dia sama sekali belum menghirup isi cangkir yang dipegangnya saat ini."Sudah tenang?" tanya Kelvin, nada suaranya melembut.
Rangga mengangguk pelan.
"Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud berteriak tadi. Hanya saja beberapa hari ini terasa sangat berat bagiku. Silvia masih marah dan teman-temanku semua menghilang... Aku merasa kesepian dan sendiri." bisik Rangga lirih."Tidak apa-apa. Aku mengerti kondisimu kok..."
Sebuah kotak kayu diletakkan Kelvin di atas meja. Rangga mengamati simbol yang diukir di bagian atas kotak tersebut. Dua bulan sabit yang saling membelakangi sebuah lingkaran di tengah. Simbol apa itu? Indah sekali kelihatannya, batin Rangga penasaran. Perlahan, Kelvin membuka kotak tersebut lalu mengeluarkan setumpuk kartu dari dalamnya. Kartu itu berukuran kecil, tidak lebih besar dari genggaman tangan Kelvin. Warna biru indigo dengan tiga sosok seperti hantu selimut berwarna putih di tengahnya, menghiasi bagian belakang kartu tersebut. Tanpa banyak bicara dia menggenggam tumpukan kartu tersebut dengan kedua tangannya."Deck apa tarot yang kamu pakai?" tanya Rangga pelan.
Kembali Kelvin menyunggingkan senyumnya. "Ghosts And Spirits Tarot Deck." jawabnya singkat.
"Hah? Kok sepertinya mengerikan sekali decknya?"
"Tidak. Sama sekali tidak mengerikan jika kamu tidak takut dengan kematian," Kelvin tersenyum. "Lagi pula deck ini rasanya paling cocok dengan pertanyaan yang akan kamu tanyakan saat ini, Rangga. Jadi, apa pertanyaanmu?" lanjutnya.
"Apa yang terjadi denganku saat ini?" bisiknya nyaris tak terdengar.Kelvin mengangguk, menatap Rangga seraya mengocok tumpukan kartu kemudian berkata, "Siap atau tidak, inilah jawaban atas pertanyaanmu..."
Rangga terpaku. Matanya membelalak dan mulutnya masih menganga lebar. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan apa yang dikatakan Kelvin kepadanya. Tidak, ini pasti salah! Tidak mungkin ini terjadi! Kartu-kartu itu pasti salah, pasti ini hanyalah trik murahan untuk menakutinya. Trik tipuan yang dipakai Kelvin untuk membuatnya membayar uang lebih. Rangga bangkit berdiri, amarahnya memuncak. Pemuda yang duduk di hadapannya hanya menatapnya pilu.
"Brengsek! Dasar pembohong!" teriak Rangga parau. Tangan Rangga terkepal hendak menonjok Kelvin.
Pemuda itu memejamkan mata, kemudian berbisik, "Kamu tidak bisa menyakitiku, Rangga. Maafkan aku, kamu harus mengetahuinya dengan cara begini. Maafkan aku, kamu harus mengalami semua ini..."
Rangga mengendurkan kepalan tangannya. Airmata mengalir dari kedua matanya. Bukannya dia tidak menyadari keanehan yang dia alami selama ini, hanya saja dia ingin sekali menyangkal kebenaran. Berharap masih bisa berada lebih lama di sini.
"Aku... sudah... mati...?" lirihnya tanpa sadar.
Kelvin mengangguk lemah. "Itu sebabnya semua orang di sekelilingmu seperti tidak mengacuhkanmu. Bukan karena mereka sengaja, tetapi karena mereka tidak bisa melihat dan mendengarmu lagi..."
"Ini tidak mungkin terjadi... Aku masih muda sekali, baru dua puluh satu tahun. Masih banyak yang ingin kukerjakan. Masih banyak yang ingin kucapai..." ucap Rangga di sela tangisannya.
"Tidak bisakah aku hidup lagi?" tanya Rangga tiba-tiba. Dia tahu ini tidak mungkin, tapi siapa tahu Kelvin mengetahui caranya untuk hidup lagi.
Kelvin menggeleng.
"Bahkan hanya untuk sehari? Aku hanya butuh waktu satu hari saja untuk bilang ke Silvia kalau aku benar-benar mencintainya, bahwa aku tidak menduakannya. Hanya sehari saja,biar aku bisa bilang ke mama kalau aku tidak membencinya... Kumohon, Vin?!"
Kembali Kelvin menggeleng keras. "Rangga, kita sama-sama tahu kalau itu tidak mungkin. Kamu sudah meninggal, semua sudah berakhir. Ketika nafasmu berhenti, itu tandanya kamu sudah putus hubungan dengan alam fana ini. Lupakan semuanya! Apa yang harus kamu katakan, kamu punya kesempatan ketika kamu masih bernafas..."
"Tidak! Kamu bohong! Buktinya aku masih ada di sini. Aku masih bisa bertemu dan berbincang denganmu! Ini tidak adil! Mengapa aku harus mati semuda ini?!" suara Rangga meninggi, cangkir-cangkir di hadapan mereka kembali bergetar.
Kembali Kelvin menggeleng keras. "Rangga, kita sama-sama tahu kalau itu tidak mungkin. Kamu sudah meninggal, semua sudah berakhir. Ketika nafasmu berhenti, itu tandanya kamu sudah putus hubungan dengan alam fana ini. Lupakan semuanya! Apa yang harus kamu katakan, kamu punya kesempatan ketika kamu masih bernafas..."
"Tidak! Kamu bohong! Buktinya aku masih ada di sini. Aku masih bisa bertemu dan berbincang denganmu! Ini tidak adil! Mengapa aku harus mati semuda ini?!" suara Rangga meninggi, cangkir-cangkir di hadapan mereka kembali bergetar.
Kelvin menatap Rangga dengan iba, telunjuk kanannya kembali mengetuk pelan pinggiran meja. Mencoba menetralkan ledakan emosi Rangga yang membuat cangkir-cangkir bergetar. "Kumohon, jangan melawannya, Rangga... Semakin kamu melawannya, semakin susah untukmu melewati ini. Aku ada di sini untuk membantumu, anggap saja itu sudah menjadi tugas hidupku. Kamu bisa mencariku, itu semua karena kita terikat..."
Kelvin menghela nafas panjang. Lelah. Pertemuan ini menguras banyak energinya. Jika Rangga masih bersikeras untuk tetap di alam ini, tidak ada pilihan lain selain melakukan itu kepada Rangga. Kelvin mendesah, dia benci jika harus melakukan hal itu kepada Rangga. Sebisa mungkin dia ingin Rangga pergi dengan damai dan dengan keinginannya sendiri.
Kelvin menghela nafas panjang. Lelah. Pertemuan ini menguras banyak energinya. Jika Rangga masih bersikeras untuk tetap di alam ini, tidak ada pilihan lain selain melakukan itu kepada Rangga. Kelvin mendesah, dia benci jika harus melakukan hal itu kepada Rangga. Sebisa mungkin dia ingin Rangga pergi dengan damai dan dengan keinginannya sendiri.
"Aku... benar-benar tidak ada jalankah, Vin?" airmata kembali membanjiri wajah pucat Rangga.
Kesekian kalinya Kelvin menggelengkan kepala.
Terduduk lemas Rangga di kursinya. Matanya menerawang nanar. Kini semua pertanyaannya terjawab sudah, walaupun bukan ini jawaban yang ingin dia dengar atau ketahui. Perlahan, potongan-potongan ingatannya mulai kembali. Kepingan memori tersebut tersusun lagi membentuk gambaran yang lebih terang. Lebih jelas dari sebelumnya. Malam itu, sehabis pertengkarannya dengan Silvia, Rangga memacu motornya dengan kecepatan tinggi tanpa mengenakan helm. Naas, jalanan licin sehabis hujan membuatnya tergelincir dan menabrak pembatas jalan dan tiang reklame. Kepala Rangga pecah, membuatnya langsung menghembuskan nafas terakhir di tempat kejadian. Bagaimana mungkin dia bisa lupa? Bagaimana mungkin dia bisa tidak menyadari bahwa dia bukan lagi makhluk fana? Dengan setengah hati, dia bangkit berdiri kemudian berbalik pergi dengan langkah gontai meninggalkan Kelvin. Kemana? Dia pun tidak tahu, yang dia tahu saat ini waktunya pergi. Waktunya menuju ke tempat baru yang sama sekali tidak dia ketahui dimana atau bagaimana.
Kelvin memejamkan mata ketika dilihatnya Rangga perlahan raib dari pandangannya. Tak diacuhkannya tatapan dan juga bisikan-bisikan dari orang-orang di sekelilingnya. Terbiasa sudah dia dipanggil gila atau dicap aneh oleh orang lain, bahkan juga oleh keluarganya sendiri. Ini bukan maunya, pun tak pernah dimintanya. Dia menghela nafas lega, satu lagi telah pergi. Ada rasa sedih merambat di hatinya. Ada rasa tak rela menghujam jantungnya. Bagi beberapa orang mungkin mereka itu menakutkan dan jahat, tetapi bagi Kelvin, mereka tak jauh berbeda dengannya. Kesepian dan bingung di tempat yang bukan lagi ditujukan untuk mereka. Ada semacam ikatan batin antara Kelvin dengan mereka, yang sebagian orang menyebutnya hantu atau arwah. Ikatan rumit yang menyenangkan, tetapi juga menyedihkan. Entah bagaimana caranya, mereka bisa mengetahui tentang Kelvin. Entah bagaimana caranya, dia pun bisa mengetahui tentang mereka. Jalinan jodoh itu terkadang begitu membingungkan, seperti jaring labah-labah yang tipis dan rumit, tetapi kuat. Kembali Kelvin menyeruput pelan tehnya yang kini sudah dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar