Selasa, 16 Oktober 2012

Zhi Shao Hai You Ni (At Least I Still Have You)

Lagu kesukaanku ini, lupa tepatnya kapan denger lagu ini, tapi begitu denger langsung ga bisa lupa. Terus terngiang-ngiang di kepala. Awalnya ga tau judulnya apa, ga ngerti ini lagu cerita dan artinya apa. Sampai akhirnya iseng-iseng liat SJM di youtube, baru tau judulnya. Terus googling lirik dan artinya, ternyata liriknya sangat menyentuh :)
so, ini dia MV dari Sandy Lam -  Zhi Shao Hai You Ni (At Least I Still Have You). 







lirik dalam pinyin :

Zhi Shao Hai You Ni (Lyric)
Wo pa lai bu ji Wo yao bao zhe ni
Zhi dao gan jue ni de zhou wen you le sui yue de hen ji
Zhi dao ken ding ni shi zhen de Zhi dao shi qu li qi
Wei le ni Wo yuan yi

Dong ye bu neng dong Ye yao kan zhe ni
Zhi dao gan jue ni de fa xian You le bai xue de hen ji
Zhi dao shi xian bian de mo hu Zhi dao bu neng hu xi
Rang wo men Xing ying bu li

Ru guo Quan shi jie wo ye ke yi fang qi
Zhi shao hai you ni Zhi deo wo qu zhen xi
Er ni zai zhe li Jiu shi sheng ming de qi ji
Ye xu Quan shi jie wo ye ke yi wang ji
Jiu shi bu yuan yi Shi qu ni de xiao xi
Ni zhang xin de zhi Wo zong ji de zai na li

Wo pa lai bu ji Wo yao bao zhe ni
Zhi dao gan jue ni de fa xian You le bai xue de hen ji
Zhi dao shi xian bian de mo hu Zhi dao bu neng hu xi
Rang wo men Xing ying bu li

Wo men hao bu rong yi Wo men shen bu you ji
Wo pa shi jian tai kuai Bu gou jiang ni kan zi xi
Wo pa shi jian tai man Ri ye dan xin shi qu ni
Hen bu de yi ye zhi jian bai tou Yong bu fen li

artinya dalam bahasa inggris :

At Least I Still Have You (translation)

I’m afraid there’s not enough time, I want to hold you
Until your wrinkles have traces of the years
Until I’m sure you’re real, until I lose my strength
For you, I’m willing

Even if I can’t move, I want to look at you
Until your hair has traces of white snow
Until my vision becomes blurred, until I can’t breathe
Let us be as inseparable as body and shadow

Supposing I could let go of the whole world
At least I still have you, deserving me to cherish you
And having you here is a miracle of life
Perhaps I could forget the whole world
I’m just not willing to lose your news
The mole in your palm, I always remember it’s there

I’m afraid there’s not enough time, I want to hold you
Until your hair has traces of white snow
Until my vision becomes blurred, until I can’t breathe
Let us be as inseparable as body and shadow

It’s not easy for us, our bodies are not free
I’m afraid time is too fast, I can’t see you clearly
I’m afraid time is too slow, I worry day and night that I’ll lose you
Wishing that we’ll grow old in one night, and never be apart

Jumat, 12 Oktober 2012

halloween

Hola, Halloween dah dekat. Kali ini sengaja pake karakter 'Rick' yang kurasa lebih cocok dengan tema Halloween. Well, tau sendiri kan kalau Halloween temanya lebih 'dark' dan nyeremin. So, kurasa si Rick dan pisau kesayangannya paling pas buat saat ini (walau aku ga menampik, Rick sering juga muncul di tema-tema lain *ngakak*)
Ah, well, Happy Halloween to all! Ya, walau masih lebih dari 2 minggu lagi, ga apa-apa dong ngucapinnya sekarang :))



Kamis, 11 Oktober 2012

Happy Dragon's Year 2012


New Year 2012


X-Mas 2011


Happy Easter 2011

Kembali karya lama ini. Sudah kuposting di FB juga dan Deviantart, tapi kembali ku re-upload di sini (maklum baru mulai gatel ngeblog). Apa kisahnya?
Jadi, Paskah 2011 semakin dekat kala itu. Bingung mau gimana caranya mengungkapkan "Selamat Paskah" dengan 'cara' ku sendiri. Dengan gambar yang benar-benar gayaku. Entah kesambet apa, terpikirkanlah ide ini, seorang pemuda (me?) *Ngakak* memegang pisau, kemudian 'membunuh' kelinci paskah yang tersohor itu dan memecahkan telur-telur paskahnya.

Gores sana, gores sini, scan bentar, edit sana-sini. Jreng! Jadilah gambar ini. Sebagian teman dan saudara yang melihat hanya meringis ngeri. Sebagian berteriak lantang "Dasar psikopat lo!". Sebagian lagi ribut dan merasa tersinggung dengan karyaku ini. Buatku pribadi? Masa bodo! EGP :))
Mungkin sebagian dari teman-teman bertanya : kenapa? kenapa harus membunuh kelinci paskah?

*sesaat hening*
Jawabannya mudah. 
Karena bagiku Paskah yang dulu kukenal, bukan tentang kelinci paskah dan telur paskahnya. Lebih dari itu, dulu Paskah yang kukenal lebih menitikberatkan kepada penderitaan, jalan salib, kematian, dan kebangkitan sang tokoh utama di dalam ajaran Kristen dan Katholik. 
So, it's as simple as that! 
Karyaku ini hanya berniat membantu teman-teman dan keluarga yang masih berkeyakinan Kristen dan Katholik untuk kembali mengenang dan mengingat makna Paskah itu sendiri.
Terlalu sadis penggambarannya? Ah, itu mah tergantung yang menilai aja. Buatku, inilah gayaku. Inilah aku. *smirk* 


The Prophet

Lagi pada heboh berita tentang nabi-nabi palsu, ketika ide ini mendadak muncul di benakku. Ceritanya ini makhluk yang mengenakan topeng, sarung tangan, dan sepatu yang berbentuk kepala, tangan, dan kaki manusia; berusaha mendapatkan pengikut. Pegang tongkat ala-ala orang bijak, lengkap dengan patung sesembahannya yang dijunjung tinggi di tangan kirinya, bukankah ini 'Nabi' banget? Nyadar ga kalau warna kulit di bagian lain tubuhnya berwarna lebih kelabu?
Terkadang tanpa kita sadari, 'Nabi' ini kita (baca : manusia) banget. Banyak dari kita yang ingin sekali menjadi seperti nabi. Dihormati dan dijunjung-junjung setinggi mungkin. Ingin punya banyak kesaktian, mempunyai banyak pengikut. Untuk mencapai itu, ga sedikit yang pasang topeng senyum manis. Jualan 'tuhan', jualan ayat, jualan kesaktian, dan sebagainya. Pertanyaannya, buat apa? ego? 
Entahlah...


Anna - The Soul Keeper

Tepatnya kapan pertama kali karakter ini kugambar sejujurnya aku pun lupa. Kalau ga salah ingat sekitar 1-2 tahun yang lalu. Awalnya coretan iseng aja, latihan gambar sama si Ony. Ga tau kenapa setelah digambar kok rasanya sreg sekali ngeliatin si anak cewek ini.

Bukan manusia pastinya, lebih kayak Enma Ai di anime Jigoku No Shoujo, walaupun beda-beda dikit. Ceritanya si anak cewek ini punya tugas menjaga arwah-arwah penasaran lain biar ga menjadi liar. Selendang yang berkibaran di belakangnya itu berfungsi untuk menjaga dan mengikat arwah-arwah penasaran biar ga jauh darinya.

Setelah berunding sama Ony, akhirnya dipastikanlah nama anak (?) cewek ini Anna. Alasannya simpel, nama itu singkat, menarik, dan mudah dihafal. Jadilah karakter 'Anna - The Soul Keeper' ini muncul! :D

Sebenarnya, ada beberapa gambar Anna yang lain, tapi yang ini yang paling kusuka. Gambar ini kubuat buat ikutan kontes salah satu user Deviantart  : ~SplitxMindxPlush (itu boneka yang dipeluk si Anna). Kalau menang lumayan dapet boneka buatan tangan yang dibuat si empunya kontes. Sayang belum menang hahaha tapi ya lumayan, seenggaknya bisa latihan gambar si Anna.

Ah yes, semoga Anna bisa muncul lagi suatu saat... Kangen juga sama dia hehehe



I Can Kill U Here...

Sakit jiwa lo! Itu salah satu komentar yang kuterima ketika posting gambar ini di FB. Hmm, udah biasa sebenernya aku menerima label itu, jadi ya ga ngerasa gimana-gimana. Memang kuakui kali ini gambarku lebih 'dark' dan 'gore'. Sadis yo? Tapi beneran ini cerminan kekesalanku saat itu.

Seorang sahabat, seorang yang sudah kuanggap saudara, kembali mengecewakanku untuk kesekian kalinya. Pokok permasalahannya sederhana sebenernya, si doi -entah karena cemburu atau apa- tiba-tiba saja meremove diriku dari FB pacarnya. Alasannya ga jelas dan ga masuk akal. Yang lebih mengejutkan, doi juga berencana meremove diriku dari FB dan BBM-nya, tanpa menjelaskan ada alasan apa sebenarnya.

Bingung dong, tengah hari bolong malah denger hal gitu dari sahabat sendiri... Well, ya singkat cerita, kuremovelah dia dari BBM contact list dan FB-ku (maklum harga diri ketinggian, jadi ya ga mau keduluan diremove. Mending diriku yang 'buang' dia *sigh*). Belum puas, akhirnya muncullah gambar ini. Yes, that's me yang pegang pisau, yang digantung-gantung itu siapa lagi kalau bukan dia! 

Cerita lama, karya lama yang sayang dibuang. Makanya kuunggah di sini. 

Ps. Sekarang dah temenan lagi kok sama doi, walau ga sedeket dan (nyaris) ga teguran lagi :))



Kamis, 04 Oktober 2012

Sehari Saja


Jantung Rangga berdetak semakin kencang, langkahnya terhenti di depan sebuah cafe berkonsepkan modern-minimalis. Matanya nanar menatap ke dalam cafe tersebut, mencari sosok yang sudah menanti dirinya sejak tadi. Tatapannya terpaku di meja yang terletak di sudut belakang cafe, tepat ke arah seorang pemuda yang tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Dia masih termangu di tempatnya berdiri, ragu untuk mendekat. Pemuda itu memiringkan kepala lalu melambaikan tangannya untuk kedua kalinya, memintanya untuk segera mendekat. Beberapa pengunjung cafe menatap ke arah Rangga berdiri lalu menatap pemuda tersebut dengan tatapan aneh. Beberapa diantara mereka nampak berbisik-bisik, yang lain hanya menggelengkan kepala lalu melanjutkan kesibukan masing-masing.
"Rangga?" tanya pemuda itu ketika dia berdiri di hadapannya. Yang ditanya tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. "Silahkan duduk." lanjutnya lagi.
Rangga menjatuhkan diri ke sofa di seberang pemuda itu duduk. Pemuda itu menatapnya lekat, lalu tersenyum. Entah mengapa tatapan pemuda itu terasa aneh, seolah-olah mampu membaca pikiran dan isi hatinya. Rangga menunduk, risih dipandangi seperti itu oleh orang yang baru kali ini bertemu muka dengannya. 
Rangga menjilati bibirnya lalu membuka mulutnya, "Kamu Kelvin?"
Pemuda itu menaikkan satu alisnya kemudian tersenyum lalu mengangguk pelan. Diraihnya cangkir di hadapannya, kemudian dengan perlahan menyeruput teh yang masih mengepulkan asap. "Jadi ada apa mencariku?"
"Aku butuh bantuanmu..." ucap Rangga setengah berbisik.
Kerongkongan Rangga yang terasa kering ditambah rasa gugup yang terus mendera membuatnya harus berdehem beberapa kali. Dilambaikan tangannya ke arah pramusaji yang berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Pramusaji itu hanya diam memandanginya, tak bergerak sedikit pun. Kesal, Rangga kembali melambaikan tanganya memanggil pramusaji itu. Tetap saja pramusaji tersebut tidak beranjak. Rangga menggerutu pelan sambil menurunkan tangannya.
"Mau pesan minuman apa?" tanya Kelvin tiba-tiba.
"Ehm, cappuccino aja"
"Panas?"
Rangga mengangguk pelan. Kelvin melambaikan tangannya, kali ini pramusaji tersebut langsung datang menghampiri mereka. 
"Jadi secangkir cappuccino panas ya, mas?" pramusaji tersebut mengulang pesanan Kelvin. Baik Kelvin maupun Rangga langsung mengangguk.
"Mbak, kupanggil dari tadi ga datang-datang. Giliran mas ini yang panggil langsung datang. Ada masalah sama aku ya?" cerocos Rangga kesal. Pramusaji itu hanya berbalik lalu berjalan menjauh, sama sekali tak acuh dengan perkataan Rangga.
Kurang ajar sekali dia, dipikirnya aku ga sanggup bayar kali, batin Rangga kesal.
Kelvin tersenyum geli, kemudian dipandanginya Rangga lekat-lekat. "Kamu benar-benar belum tahu ya?"
"Apa?" Rangga bertanya balik, bingung dengan pertanyaan Kelvin yang menurutnya aneh.
Kelvin mengendikkan bahunya. "Lupakan saja. Jadi, kurasa banyak hal yang akhir-akhir ini membuatmu merasa aneh kan? Banyak perubahan yang terjadi di hidupmu untuk... ehm... beberapa hari belakangan ini?"
Rangga terbelalak kaget. "Kamu... Bagaimana kamu tahu?"
"Hanya menebak," Kelvin menopang dagunya dengan kedua tangannyai, dia masih menatap Rangga. "Jadi, sudah berapa lama kamu mengalami kejadian ini?"
Rangga mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat-ingat, kemudian menggeleng lemah. "Aku tidak ingat sama sekali sudah berapa lama ini terjadi. Yang kutahu suatu hari aku bangun di kamar kostku, mandi, kemudian berangkat kuliah seperti biasanya. Sesampainya di kelas, teman-teman kuliah bahkan dosenku seperti tidak melihatku. Aku dianggap tidak ada. Saat itu aku sama sekali tidak berpikiran macam-macam, karena memang pada dasarnya aku tidak banyak bergaul dengan mereka. Aku tidak punya banyak teman di kampus, kebanyakan teman-teman baikku kuliah di tempat lain"
Kelvin mengangguk pelan, tangannya kembali meraih cangkir di hadapannya, kemudian menghirup tehnya.
"Sepulangnya dari kampus, aku kembali ke kamar kostku. Berbaring sejenak, kemudian kuputuskan menelepon Silvia, kekasihku. Hubungan kami memang sedang tidak baik saat itu, dia marah kepadaku karena dipikirnya aku selingkuh dengan cewek lain," Rangga menarik nafas panjang kemudian mendesah. "Aku tidak pernah menduakan dia. Kepikiran pun tidak. Namun, ya, begitulah Silvia. Terlalu posesif dan keras kepala."
"Lalu bagaimana? Teleponmu tersambung? Diangkat sama Silvia?" 
Rangga mengangguk. "Diangkat, tetapi dia sepertinya masih marah kepadaku. Dia hanya diam saja, tak berbicara sepatah kata pun sebelum akhirnya berteriak meminta aku jangan main-main lalu memutuskan sambungan teleponnya. Entah apa maksudnya..." tatapan Rangga menerawang, ada setitik air menggenang di sudut matanya.
"Mungkin dia masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diri..." ucap Kelvin lembut. Rangga mengendikkan bahu kemudian tersenyum datar."Terus tidak ada hal aneh lainnya?"
"Aneh? Maksudmu?" 
Kelvin mendekatkan kepalanya ke Rangga, kemudian setengah berbisik, "Ya, peralatan elektronik yang rusak atau lampu yang mendadak padam? Bisa juga pola tidur dan makanmu yang berubah?" 
Rangga terpekur, kemudian mengangguk. "Kalau ditanya seperti itu sih, ya, ada. Lampu kamar kostku memang mendadak padam beberapa hari ini, entah kenapa aku tak bisa menyalakannya. Soal pola tidur dan makan, ya, kuakui memang dari dulu pola tidur dan makanku memang berantakan. Cuma, memang akhir-akhir ini lebih parah. Bayangkan saja, aku tidak merasa lapar walau belum ada makanan yang masuk ke perutku."
"Hmm..." Kelvin mengangguk-angguk.
"Gimana dengan keluargamu?"
"Aku hampir tidak pernah menghubungi keluargaku. Hubunganku dengan keluarga tidak bisa dibilang baik. Bisa dibilang, aku akan jauh lebih baik jika semakin jauh dari mereka..."
"Hmm, teman-temanmu?" 
"Hmmph, ga usah bicarain mereka deh!" ucap Rangga ketus. Kelvin menatapnya penasaran. "Mereka, yang mengaku sahabatku itu, beberapa hari ini bagaikan menghilang di telan bumi. Ditelepon ga diangkat, aku sms juga balasannya bikin keki. Masa mereka bilang aku bercanda dan pembohong!"
"Kamu tidak mencari mereka langsung?"
Rangga mengangguk, wajahnya kelihatan murung. "Ada, tapi mereka menghindariku. Sebagian malah berpura-pura tidak melihatku. Entah ada apa dengan mereka. Entah apa salahku... Kalau ini hanya lelucon, ini benar-benar lelucon yang ga lucu sama sekali..." 
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pramusaji tadi kembali dengan secangkir cappuccino panas. "Masih menunggu temannya, mas?" tanya pramusaji itu kepada Kelvin sambil meletakkan cangkir ke hadapan Kelvin. Pemuda itu hanya mengangguk kecil lalu menggeser cangkir lebih dekat ke Rangga. "Silahkan dinikmati." pramusaji itu tersenyum kepada Kelvin sambil berbalik pergi.
"Hey, mbak!" teriak Rangga tiba-tiba.
"Mbak, mau pesan dong!" Pramusaji tersebut tetap berjalan menjauh, sama sekali tidak menoleh atau mengacuhkan panggilan Rangga.
"Sialan banget! Ada apa sih ini? Kenapa semua orang menganggapku tidak ada!" teriak Rangga kesal. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Cangkir-cangkir di hadapan mereka tiba-tiba saja serentak bergetar pelan.
Dengan dahi berkerut, Kelvin mengetukkan telunjuk kanannya ke tepian meja dengan pelan. Sedetik kemudian cangkir-cangkir tadi mendadak berhenti bergetar. Dia menghela nafas lega kemudian ditatapnya tajam Rangga sambil berkata, "Tenang! Lebih baik kamu minum dulu sebelum kamu melanjutkan ceritamu!"
Rangga tersentak kaget mendengar hardikan Kelvin. Tubuh Kelvin memang lebih kecil jika dibandingkan dengan postur tubuh Rangga, tetapi ada sesuatu dari pemuda di hadapannya ini yang membuat nyalinya seketika menciut. Sedikit gemetar Rangga meraih cappucinno di depannya. Aroma wangi cappucinno merebak menggelitik hidung Rangga. Entah apa sebabnya kini dia merasa lebih tenang, kerongkongannya yang terasa kering tadi pun kini berkurang. Lucu sebenarnya mengingat dia sama sekali belum menghirup isi cangkir yang dipegangnya saat ini."Sudah tenang?" tanya Kelvin, nada suaranya melembut.
Rangga mengangguk pelan.
"Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud berteriak tadi. Hanya saja beberapa hari ini terasa sangat berat bagiku. Silvia masih marah dan teman-temanku semua menghilang... Aku merasa kesepian dan sendiri." bisik Rangga lirih."Tidak apa-apa. Aku mengerti kondisimu kok..." 
Sebuah kotak kayu diletakkan Kelvin di atas meja. Rangga mengamati simbol yang diukir di bagian atas kotak tersebut.  Dua bulan sabit yang saling membelakangi sebuah lingkaran di tengah. Simbol apa itu? Indah sekali kelihatannya, batin Rangga penasaran. Perlahan, Kelvin membuka kotak tersebut lalu mengeluarkan setumpuk kartu dari dalamnya. Kartu itu berukuran kecil, tidak lebih besar dari genggaman tangan Kelvin. Warna biru indigo dengan tiga sosok seperti hantu selimut berwarna putih di tengahnya, menghiasi bagian belakang kartu tersebut. Tanpa banyak bicara dia menggenggam tumpukan kartu tersebut dengan kedua tangannya."Deck apa tarot yang kamu pakai?" tanya Rangga pelan.
Kembali Kelvin menyunggingkan senyumnya. "Ghosts And Spirits Tarot Deck." jawabnya singkat.
"Hah? Kok sepertinya mengerikan sekali decknya?"
"Tidak. Sama sekali tidak mengerikan jika kamu tidak takut dengan kematian," Kelvin tersenyum. "Lagi pula deck ini rasanya paling cocok dengan pertanyaan yang akan kamu tanyakan saat ini, Rangga. Jadi, apa pertanyaanmu?" lanjutnya.
"Apa yang terjadi denganku saat ini?" bisiknya nyaris tak terdengar.Kelvin mengangguk, menatap Rangga seraya mengocok tumpukan kartu kemudian berkata, "Siap atau tidak, inilah jawaban atas pertanyaanmu..."
Rangga terpaku. Matanya membelalak dan mulutnya masih menganga lebar. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan apa yang dikatakan Kelvin kepadanya. Tidak, ini pasti salah! Tidak mungkin ini terjadi! Kartu-kartu itu pasti salah, pasti ini hanyalah trik murahan untuk menakutinya. Trik tipuan yang dipakai Kelvin untuk membuatnya membayar uang lebih. Rangga bangkit berdiri, amarahnya memuncak. Pemuda yang duduk di hadapannya hanya menatapnya pilu.
"Brengsek! Dasar pembohong!" teriak Rangga parau. Tangan Rangga terkepal hendak menonjok Kelvin.
Pemuda itu memejamkan mata, kemudian berbisik, "Kamu tidak bisa menyakitiku, Rangga. Maafkan aku, kamu harus mengetahuinya dengan cara begini. Maafkan aku, kamu harus mengalami semua ini..."
Rangga mengendurkan kepalan tangannya. Airmata mengalir dari kedua matanya. Bukannya dia tidak menyadari keanehan yang dia alami selama ini, hanya saja dia ingin sekali menyangkal kebenaran. Berharap masih bisa berada lebih lama di sini.
"Aku... sudah... mati...?" lirihnya tanpa sadar.
Kelvin mengangguk lemah. "Itu sebabnya semua orang di sekelilingmu seperti tidak mengacuhkanmu. Bukan karena mereka sengaja, tetapi karena mereka tidak bisa melihat dan mendengarmu lagi..."
"Ini tidak mungkin terjadi... Aku masih muda sekali, baru dua puluh satu tahun. Masih banyak yang ingin kukerjakan. Masih banyak yang ingin kucapai..." ucap Rangga di sela tangisannya.
"Tidak bisakah aku hidup lagi?" tanya Rangga tiba-tiba. Dia tahu ini tidak mungkin, tapi siapa tahu Kelvin mengetahui caranya untuk hidup lagi. 
Kelvin menggeleng.
"Bahkan hanya untuk sehari? Aku hanya butuh waktu satu hari saja untuk bilang ke Silvia kalau aku benar-benar mencintainya, bahwa aku tidak menduakannya. Hanya sehari saja,biar aku bisa bilang ke mama kalau aku tidak membencinya... Kumohon, Vin?!"
Kembali Kelvin menggeleng keras. "Rangga, kita sama-sama tahu kalau itu tidak mungkin. Kamu sudah meninggal, semua sudah berakhir. Ketika nafasmu berhenti, itu tandanya kamu sudah putus hubungan dengan alam fana ini. Lupakan semuanya! Apa yang harus kamu katakan, kamu punya kesempatan ketika kamu masih bernafas..."
"Tidak! Kamu bohong! Buktinya aku masih ada di sini. Aku masih bisa bertemu dan berbincang denganmu! Ini tidak adil! Mengapa aku harus mati semuda ini?!" suara Rangga meninggi, cangkir-cangkir di hadapan mereka kembali bergetar.
Kelvin menatap Rangga dengan iba, telunjuk kanannya kembali mengetuk pelan pinggiran meja. Mencoba menetralkan ledakan emosi Rangga yang membuat cangkir-cangkir bergetar. "Kumohon, jangan melawannya, Rangga... Semakin kamu melawannya, semakin susah untukmu melewati ini. Aku ada di sini untuk membantumu, anggap saja itu sudah menjadi tugas hidupku. Kamu bisa mencariku, itu semua karena kita terikat..."
Kelvin menghela nafas panjang. Lelah. Pertemuan ini menguras banyak energinya. Jika Rangga masih bersikeras untuk tetap di alam ini, tidak ada pilihan lain selain melakukan itu kepada Rangga. Kelvin mendesah, dia benci jika harus melakukan hal itu kepada Rangga. Sebisa mungkin dia ingin Rangga pergi dengan damai dan dengan keinginannya sendiri. 
"Aku... benar-benar tidak ada jalankah, Vin?" airmata kembali membanjiri wajah pucat Rangga.
Kesekian kalinya Kelvin menggelengkan kepala.
Terduduk lemas Rangga di kursinya. Matanya menerawang nanar. Kini semua pertanyaannya terjawab sudah, walaupun bukan ini jawaban yang ingin dia dengar atau ketahui. Perlahan, potongan-potongan ingatannya mulai kembali. Kepingan memori tersebut tersusun lagi membentuk gambaran yang lebih terang. Lebih jelas dari sebelumnya. Malam itu, sehabis pertengkarannya dengan Silvia, Rangga memacu motornya dengan kecepatan tinggi tanpa mengenakan helm. Naas, jalanan licin sehabis hujan membuatnya tergelincir dan menabrak pembatas jalan dan tiang reklame. Kepala Rangga pecah, membuatnya langsung menghembuskan nafas terakhir di tempat kejadian. Bagaimana mungkin dia bisa lupa? Bagaimana mungkin dia bisa tidak menyadari bahwa dia bukan lagi makhluk fana? Dengan setengah hati, dia bangkit berdiri kemudian berbalik pergi dengan langkah gontai meninggalkan Kelvin. Kemana? Dia pun tidak tahu, yang dia tahu saat ini waktunya pergi. Waktunya menuju ke tempat baru yang sama sekali tidak dia ketahui dimana atau bagaimana.
Kelvin memejamkan mata ketika dilihatnya Rangga perlahan raib dari pandangannya. Tak diacuhkannya tatapan dan juga bisikan-bisikan dari orang-orang di sekelilingnya. Terbiasa sudah dia dipanggil gila atau dicap aneh oleh orang lain, bahkan juga oleh keluarganya sendiri. Ini bukan maunya, pun tak pernah dimintanya. Dia menghela nafas lega, satu lagi telah pergi. Ada rasa sedih merambat di hatinya. Ada rasa tak rela menghujam jantungnya. Bagi beberapa orang mungkin mereka itu menakutkan dan jahat, tetapi bagi Kelvin, mereka tak jauh berbeda dengannya. Kesepian dan bingung di tempat yang bukan lagi ditujukan untuk mereka. Ada semacam ikatan batin antara Kelvin dengan mereka, yang sebagian orang menyebutnya hantu atau arwah. Ikatan rumit yang menyenangkan, tetapi juga menyedihkan. Entah bagaimana caranya, mereka bisa mengetahui tentang Kelvin. Entah bagaimana caranya, dia pun bisa mengetahui tentang mereka. Jalinan jodoh itu terkadang begitu membingungkan, seperti jaring labah-labah yang tipis dan rumit, tetapi kuat. Kembali Kelvin menyeruput pelan tehnya yang kini sudah dingin.

Jumat, 28 September 2012

Karena Kamu Lelaki


Kemana dia? Udah dua hari dia absen. Apa dia sakit? Nggak mungin! Dia sehat, sangat sehat. Nggak seperti aku yang penyakitan ini. Dia anak yang kuat. Jadi nggak mungkin dia sakit. Aku menatap ke kursi sebelah. Sosok yang biasa duduk di samping itu tak nampak hari ini. Mungkin dia belum datang. Mungkin dia telat hari ini. Lagian baru jam enam lebih lima puluh menit. Masih ada lima menit tersisa sebelum bel masuk bunyi. Ya, dia pasti telat. Aku kenal dia. Aku tau semua tentang dia. Dia pasti masuk hari ini. Semoga…
KRINGGG….!!!
Bel baru aja bunyi, tapi dia belum datang juga. Masa dia beneran nggak masuk lagi hari ini? Apa mungkin gara-gara kejadian itu? Oh, kuharap bukan karena itu dia nggak masuk hari ini. Lebih baik aku mati daripada dia membenciku. Tuhan, jangan buat dia membenciku. Tolong, jangan jauhkan aku dari Redoku… Aku meremas tanganku, gelisah dan takut berbaur di hatiku. Biasanya kalo aku mulai meremas tangan seperti ini, Redo pasti menonjok pelan bahuku. Lalu dengan santainya dia akan cerita salah satu lelucon joroknya sampai aku sakit perut menahan tawa. 
Sial, Pak Yo udah masuk kelas. Kamu beneran nggak masuk, Do? Aku bisa mendengar Pak Yo yang mulai menyuruh Linda, sekretaris kelas, mencatat teori ekonomi di whiteboard. Seperti biasanya, bapak tua satu itu terlalu malas untuk mengajar. Heran, kenapa masih ada guru seperti dia. Ah, aku jadi teringat artikel yang kubaca di koran beberapa hari yang lalu. UPAH GURU DIBAWAH MINIMUM, begitu headline koran itu. Mungkin itu alasannya, guru-guru seperti Pak Yo enggan mengajar di kelas. Nggak heran, Indonesia semakin tertinggal. Kalo sudah begini, kami –generasi muda yang notabene siswa yang dirugikan dan ditekan. Huh, benar-benar adil orang-orang (sok) dewasa itu…
Buku catatanku mulai terisi teori-teori ekonomi. Seharusnya nggak perlu dicatat lagi. Ralat. Disalin tepatnya, secara semua yang dicatatkan di whiteboard itu memang hanya menyalin buku cetak yang harus kami beli kalo nggak mau kena hukuman Pak Yo. Benar-benar pemborosan uang dan waktu, begitu yang sering dikatakan Redo padaku. 
Well, kau harus lihat buku-buku catatan Redo. Kosong. Seputih kulitku yang pucat. Redo terlalu malas untuk mencatat apapun juga. Dia nggak suka mencatat. Pelajaran apapun itu. Tapi biarpun begitu Redo anak yang cerdas. Buktinya dia berhasil masuk ranking sepuluh besar di kelasku, kelas unggulan di sekolah kami. Mungkin itu sebabnya nggak ada guru yang berani protes kalo dia nggak pernah mencatat. 
Aku menatap hampa. Redo bener-bener absen hari ini. udah break pertama, nggak mungkin dia masuk sekolah kalo kayak gini. Rasanya aneh tanpa Redo di sekolah ini. Dia alasanku bertahan di sini. Walau harus mati-matian membujuk mama dan papa biar bisa ke sekolah. Kebingungan makin menguasaiku. Haa, abis ini olahraga… Pelajaran terkutuk yang paling kubenci. Mungkin karena aku nggak boleh olahraga. Kau pasti sudah tau alasannya kenapa. Yup, karena aku terlalu lemah untuk hal-hal seperti itu. 
Jam olahraga biasanya hanya kuhabiskan dengan duduk di bangku pinggir lapangan. Menonton Redo bermain basket bersama teman-teman kelasku yang lain. Menatapnya iri sekaligus kagum. Redo pebasket yang tangguh. Dia pernah ditawari menjadi pemain inti di team nasional. Sayangnya, tawaran itu ditolaknya. Males, alasannya ketika aku bertanya kenapa. Ya, itulah Redo. Tak pernah mau dikekang. Bebas dan liar. Seperti angin yang membuaimu lembut lalu mengacak rambutmu sambil tertawa terbang menjauh. Ada dan dekat tapi tak pernah bisa kumiliki.
Lapangan basket nampak sepi. Ya nggak sepi sebenarnya, masih banyak teman-temanku yang bermain di sana. Hanya saja bagiku lapangan itu tampak sepi. Tidak hidup. Mungkin karena nggak ada Redo di sana. Mungkin… Aku juga nggak begitu yakin. Sama seperti aku yang nggak yakin dengan tujuanku dilahirkan di dunia ini.

***

Sial, aku nggak bisa konsen dengan penjelasan Ms. Tina tentang tenses. Gimana bisa ngerti kalo apa yang dia omongin aja aku nggak ngerti artinya. Emang sih bahasa Inggris itu penting banget buat dipelajarin. Tapi nggak mesti jelasinnya pake bahasa Inggris juga kan? Dijelasin pake bahasa Indonesia aja aku yakin belum tentu banyak yang ngerti. .  Oke, oke aku akuin emang aku payah di pelajaran bahasa Inggris. Maksudku, benar-benar PAYAH.  Tapi apa yang aku ngomongin juga bener kan? Hayoo ngaku aja deh kalian semua.
Ketidakmengertianku membuat pikiranku melayang ke kejadian tiga hari yang lalu. Wajahku tanpa tedeng aling-aling langsung memerah. Teringat bagaimana aku mencium Redo saat itu. Entah darimana keberanian macam itu kudapatkan. Aku pasti sudah gila. Bener-bener gila! Tapi, bukankah cinta terkadang membuat kita jadi gila mendadak??
Tiga hari yang lalu, aku terpaksa duduk di kelas sedikit lebih lama karena penyakit sialanku kambuh. Yang lain udah pada pulang, hanya ada Redo yang menungguiku dengan wajah prihatin. Kalo mau jujur aku paling benci jika ada orang yang melihatku dengan tatapan prihatin atau kasihan. Emangnya hanya karena aku penyakitan lalu patut dikasihani?! Nggak kan! Tapi berhubung itu Redo, ya apa boleh buat. Pengecualian buat Redo. Hanya untuknya. Diam-diam aku senang banget karena Redo care kayak gini.
Tangan Redo membelai punggungku lembut. Darahku berdesir cepat, jantungku tiba-tiba berdetak makin kencang. Sangking kencangnya aku sampe takut Redo bisa mendengarnya. 
“Udah baikan?”
Aku mengangguk, kepalaku tertunduk. Malu kalo sampe Redo melihat semburat merah di pipiku saat ini. 
Dia menelengkan kepala, berusaha menatap wajahku. “Bener udah baikan?” Wajah kami begitu dekatnya sampai-sampai aku bisa mencium aroma permen kesukaannya dari desah nafasnya ketika dia berkata, “Kamu pucat banget…”
Kudongakkan kepala memandangnya. Bibir kami hanya berjarak beberapa centi. Lalu entah apa yang merasukiku saat itu, bukannya menjauh aku malah makin mendekatkan bibirku. Detik berikutnya aku sudah melumat bibir Redo yang merah. Dia menggerakkan kepalanya ke belakang, berusaha menjauh dariku. Aku segera memeluknya erat, tak rela ciuman ini terhenti. Redo hanya bisa terpaku sejenak sebelum akhirnya membalas ciumanku. Tiba-tiba Redo mendorongku lembut, kali ini aku melepaskannya. Matanya sayu menatapku. 
Dadaku terasa penuh sampai rasanya mau meledak. Penuh dengan bimbang. Penuh dengan gelisah. Penuh juga dengan cinta dan gairah yang meluap-luap. Ini pertama kalinya aku mencium seseorang. Ciuman pertamaku. Apple-mint. Bibir dan lidah Redo rasanya seperti permen apple-mint. Membuatku mabuk dan ketagihan sampai saat ini.
Ada apa, tanyaku waktu itu. Redo tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Tak pernah aku melihatnya selemah ini sebelumnya. Karena akukah? Karena ciuman kamikah? Redo berbalik lalu berlari menjauh meninggalkan aku sendirian di kelas. Tiba-tiba aku merasa bodoh. Bodoh karena berani menciumnya seperti itu. Sekarang dia pasti membenciku. Pasti…

***

KRINGGG…
Desah nafas lega bercampur sorakan bergemuruh di kelasku. Aku segera memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam ransel. Lewat juga hari ini tanpa Redo. Sepi. Hampa. Aku menarik nafas dalam. Ada rindu menyelusup dalam hatiku. Aku rindu Redo. Seandainya saja aku nggak gegabah menciumnya, tentu hari ini dia masih di sampingku. Menemaniku dengan segala tingkah konyolnya. Kamu marah, Do? Kamu marah sama aku? Jika ya, bilang aja, Do. Jangan kayak gini. Jangan hukum aku dengan cara ini… 
Aku melangkah perlahan menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Pak Man, sopirku, belum datang menjemputku. Hari ini sekolah dibubarkan lebih awal, ada rapat guru katanya. Hapeku berbunyi, paling sms balesan dari mama. Tadi aku emang sms mama ngabarin aku pulang cepet biar Pak Man nggak kelamaan jemput. 
1 new message.
Nama yang tertera di layar hapeku membuat jantungku berdebar-debar. 
Opening…
Redo_skul :  
Dah blk? Ak mo ngmg sm kmu. Ak d kls skrg. Jgn ampe ktauan yg lain palg guru.
Segera aku berlari ke kelasku. Redo. Dia di sini. Redo di sini! Nafasku terengah-engah ketika aku sampai di kelas kami yang kosong. Dia berdiri membelakangiku. Seragam sekolahnya tampak kusut.
“Do…” panggilku pelan.
Dia menoleh. Rambutnya yang dipotong mengikuti model harajuku berantakan dipermainkan angin. Wajah tampan Redo sedikit menegang melihatku. Dia gugup. Percayalah, aku tau itu walau Redo mati-matian menutupinya.
“Kamu kemana aja dua hari ini? Aku telepon nggak diangkat, sms juga nggak dibales.”
Redo menatapku dengan cara yang nggak pernah dia lakukan sebelumnya. Bingung, benci tapi juga ada hangat terpancar. Dia membasahi bibirnya yang nampak kering. Bibir itu yang kucium tiga hari yang lalu… Astaga! Apa yang kupikirkan?!
Tenggorokanku rasanya ditumbuhi duri, susah banget mau ngomong. Ada apa denganku? “Kamu… kamu marah?” tanyaku setelah bersusah payah.
“Nggak…” Redo memalingkan wajahnya sejenak. “Aku cuma bingung. Aku nggak bisa ketemu kamu dulu, Na… Itu aja.”
“Makanya kamu bolos dua hari ini?” tembakku langsung. Dia mengangguk pelan.
“Aku…” Suaraku serak, nyaris nggak terdengar. Aku menggelengkan kepala, mencoba menghalau gugupku. “Aku suka kamu…” Aku menarik nafas sebelum akhirnya menyambung, “Aku tau kamu pasti berpikir aku gila atau aneh, Do. Tapi ini benar, aku suka kamu…”
Redo diam. Dia masih tetap memandangku. “Aku tau…”
Aku menantinya melanjutkan kalimatnya. Aku tau dia belum selesai.
“Dan… Aku sama sekali nggak berpikir kamu gila.”
“Benar?” tanyaku penasaran. 
Dia mengangguk. “Itu hak kamu, Narada. Hak kamu untuk mencintai siapa aja…” Dia diam lagi. Dia nggak pernah diam seperti ini, dan aku benci Redo yang kayak gini. “Tapi kenapa aku? Kenapa harus aku yang kamu suka?” sambungnya lagi. Wajahnya lebih kuyu daripada tadi.
Aku mengernyitkan dahi, nggak tau harus jawab apa. Seharusnya kamu jangan tanyakan itu, Do. Kamu nggak tau gimana susahnya aku menjawab pertanyaan itu. Jauh… Jauh sebelum kamu bertanya, aku sudah lebih dulu mempertanyakan hal itu kepada diriku sendiri. Mengapa aku menyukaimu? Mengapa aku menyukai cowok kayak kamu, Do? Mengapa tiap mimpiku selalu dipenuhi sosokmu? Aku udah mencoba mencari jawabnya, Do. Tapi nihil. Yang aku tau aku mencintaimu. Aku suka Redo. Aku cinta Redo!
“Aku… Ini salah, Na. Nggak harusnya kita…. Nggak pantes kita ciuman waktu itu!” Redo menunduk, suaranya terdengar aneh. Menangiskah dia?
“Maafin aku, Do…” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Rido menggelengkan kepala kuat-kuat. “Kamu nggak salah, Na! Sama sekali nggak salah. Yang salah itu aku…” Redo terisak. “Aku yang salah karena aku juga suka kamu, Na..” 
Apa?! Apa aku nggak salah dengar? Apa yang dikatakan Redo tadi? Dia… Dia juga suka aku? 
Aku berjalan mendekati Redo lalu memeluknya erat. “Kalo gitu apa lagi yang perlu kita omongin lagi, Do? Kita sama-sama saling cinta. Apa yang salah dari itu?”
Redo membenamkan wajahnya ke pundakku. Suaranya mendesah, berbisik pelan di telingaku, “Karena… Karena kita sama-sama cowok, Narada. Itu yang salah…”
Aku terpaku. Mendadak, desir angin terdengar begitu kuat mengisi gendang telingaku. Desir dari angin yang bebas dan liar. Angin yang nggak akan bisa kurengkuh selamanya…

Andai Saja


Untuk kesekian kalinya kupandang papan nama di gedung depanku. SMA XAVERIUS 3 PALEMBANG. Ada getar aneh merambat di dadaku saat ini. Rindu, sedih, sebal, senang dan kagum campur aduk jadi satu. Almamater tercinta atau malah almamater terkutuk? Aku memandang sekelilingku. Well, rasanya nggak ada yang berubah dari sekolah ini, masih tetap sempit dan terasa penuh di mataku. Tapi… tunggu dulu. Coba lihat catnya! Dulu gedung-gedungnya dicat warna putih, kini krem mendominasinya. Not bad, walau masih tampak suram hahaha
Perlahan aku mengitari lapangan basket, lalu duduk di bangku tepi lapangan itu. Di sini tempat nongkrong favoritku kelas satu dulu. Selain letaknya yang pas di depan kelasku, dari sini kau juga bisa melihat semua orang lalu lalang dari dan menuju kantin. Lumayanlah buat sekedar scanning cewek-cewek, kali-kali aja ada yang cocok hehe. Pandanganku tiba-tiba terhenti pada sosok perempuan yang berdiri jauh di depanku. Rasanya aku kenal sosok itu. Nggak yakin juga, sih, terutama kalo kau ngeliatnya dari jarak tiga meter kayak gini.
Baru aja aku hendak mendekatinya ketika dia setengah berlari menghampiriku. Dan di sinilah dia berdiri, di depanku. Dia merapikan rambut panjangnya yang berantakan dipermainkan angin, lalu dengan pedenya dia mengulurkan tangan. Aku mengernyitkan dahi, mengorek ingatanku, kali-kali aja aku kenal dia. Hasilnya? Nihil. Rasanya aku emang nggak kenal dia. Tapi kenapa dia senyam senyum nggak jelas gitu? Mungkinkah dia naksir aku? Hoo, geer! Tapi kalo emang dia mau, aku nggak bakal keberatan, kok. Secara dia emang cantik banget hehe.
“Revan, kan? Revan Wendrata, lulus taon 2004.” katanya, yakin. Tangannya masih menanti tanganku. Aku menaikkan kedua alisku, tambah bingung koq dia tau nama dan kapan aku lulus. Tanpa sadar kusambut uluran tangannya. Gila, lembut banget! Kayak megang porselen Cina. 
“Sapa, ya?”
Dia menelengkan kepalanya. “Lupa?” Gadis itu memamerkan senyum manisnya sekali lagi. 
Sapa dia? Think, Revan. Think! Tet tot. I still can’t remember her…
“Ini aku! Celine,” ujarnya setelah membiarkanku terdiam cukup lama.
Celine? Celine… Celine… Celine yang mana, ya? Aku menatapnya dari kepala ke ujung kaki. Mataku hampir meloncat keluar ketika ingatanku terlempar jauh ke jaman-jaman SMA dulu. Astaga! Celine yang itu? Masa, sih?! Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. “Celine yang kutu buku dan pemalu itu? Yang dulu pake kacamata setebal pantat botol, kan? Yang rambutnya dikepang dua??” cecarku tanpa sadar.
Celine tersenyum getir, wajahnya merah. “Iya, Celine yang itu…” jawabnya pelan.
Ups, Revan, kamu bego banget, sih! How could you do this to her! “Maaf…” kataku sungguh-sungguh, baru ngeh mungkin aku bikin dia tersinggung. Dan, kayaknya sih emang bener gitu…
Dia menggelengkan kepala. “Nggak pa-pa, kok. Emang dulu aku gitu, kan?” sahutnya maklum.
Aku menggoyangkan badanku, kikuk. Nggak tau harus ngomong apa lagi. Mau nggak mau mataku terus memperhatikannya, saat ini dia udah duduk di bangku. Kacamatanya entah kemana sekarang, digantikan lensa kontak berwarna hijau jamrud. Rambut kepangnya dulu –yang membuatnya dijuluki ‘Gadis desa tersesat’- kini terurai indah, dipotong shaggy-layer dan dicat coklat pirang. “Kamu bener-bener berubah,” kataku, terpesona. “Tambah cantik…” Sengaja kupelankan range suaraku. Desir aneh yang dulu pernah hinggap di hatiku kini kembali lagi.
“Apanya yang tambah cantik?” tanyanya tiba-tiba sambil menatapku bingung.
Aku menggeleng cepat. “Itu… Anu… Sekolah ini…” gumamku nggak jelas sambil asal tunjuk. “Keliatan cantik,” sambungku cepat. Shitt! Mudah-mudahan dia nggak denger yang barusan. Dia ber-ooh ria sejenak sebelum dengan cueknya menarikku menyusuri koridor kelas.
Kami berhenti di depan kelas XI-A2 –yang dulunya kelas 3IPS5, kelas kami saat itu. Aku menekan-nekan gagang pintu. Terkunci. Kupandang Celine sambil mengendikkan bahu. “Nggak bisa masuk. Kita ke tempet lain aja yuk!” ajakku.
Celine menggeleng lalu tersenyum jahil, sesaat dia celingukan kanan-kiri. Setelah yakin nggak ada orang selain kami di sini, dia mencopot beberapa kaca jendela kelas. “Ayo!” serunya ketika jendelanya kini muat untuk badan kami. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya. Nggak ada lagi cewek yang hanya menunduk tiap kali diajak ngomong. Nggak ada lagi cewek yang cuma bisa menahan tangsi ketika seseorang mengejeknya. Celine yang pemalu itu kini berubah drastis. Dia terlihat lebih supel. Lebih pede. Lebih… Kuat. 
“Huaa… Kangen!” jeritnya sambil menatap sekeliling kelas.
Aku mengangguk, menyetujui kata-katanya barusan. Celine berlari menuju meja paling depan –tepat di depan meja guru- lalu mengelus-elus meja itu. Aku ingat, meja yang selalu dihindari oleh anak-anak lain itu memang meja favoritnya. Lebih cepet ngerti kalo duduk di sini, jawabnya ketika suatu waktu aku bertanya. Tentu saja jawaban itu langsung disambut cemooh ‘Sok-pinter-deh-lo-dasar-norak’ dari anak-anak sekelas, termasuk –tentu saja– aku.
Aku berjalan ke sudut kanan ruang kelas, tujuanku: meja paling belakang. Mejaku dulu. Segera saja aku duduk di bangku, tanganku mengusap pelan meja itu. Rasanya masih sama kayak lima tahun yang lalu, aku bahkan bisa melihat tulisan tanganku ketika mencatat penggalan catatan Tata Negara ku di meja itu. Apa mejanya nggak pernah diganti? Ah, waktu itu koq rasanya bahagia banget. Nggak perlu mikirin kejer skripsi. Nggak perlu mikirin cari kerja. Taunya cuma maen, jajan, ngecengin adek kelas, dan belajar. Ralat. Kata yang terakhir itu kayaknya lebih tepat kalo diganti dengan ‘Nyontek’. Hmm, ternyata emang jauh lebih cocok dan… sesuai kenyataan hehehe. 
Well, aku juga masih ingat. Betapa seringnya aku dan teman-teman yang lain diem-diem cerita di belakang pas jam pelajaran. Topiknya, apalagi kalo bukan tentang siapa pacaran atau putus sama siapa atau kemaren malem yang menang bola tim kesebelasan mana. Kadang, kami juga seri mencuri makan di kelas –yang langsung dapet hadiah jeweran atau teguran dari guru yang ngajar. Yah, hal-hal konyol seperti itulah (tapi ngangenin. Bener!). 
Sering juga kami mengharapkan lulus SMA secepat mungkin. Alasannya, tak lain dan tak bukan karena: BOSAN! Bosan belajar. Bosan bangun pagi dan pulang sore. Bosan ujian dan dapet pe-er yang bagi kami nggak jelas. Bosan juga ngeliatin temen-temen yang sama selama tiga taon berturut-turut. B-O-S-A-N. Cuma itu, kok. Bener. Sumpah! 
Oke, oke… Sebenarnya masih ada yang lain. Salah satunya biar nggak ketemu sama guru-guru yang bawelnya minta ampun. Terutama… Mami. Yup, bener banget tebakanmu! Mami Killer a.k.a. Ibu Kristin S. yang itu. Guru matematika yang ketenarannya sudah menjadi legenda Xavega. Duh, kemana semuanya itu pas kuliah atau kerja saat ini??? Sekarang, aku bersedia ‘membunuh’ cuma untuk mengulang masa-masa itu lagi. Ah, seandainya waktu bisa diputar kembali...
“Mikirin apa?” Suara Celine membawaku kembali ke masa kini.
“Jaman SMA dulu sama Mami. Kamu?” 
Celine mengangguk. “Sama,” jawabnya singkat. Dia tertawa sebelum akhirnya menyambung, “Yang paling dibenci itu ternyata paling disayang, ya? Bener juga kata Mami waktu itu…”
Aku tersenyum mengiyakan.
Dia diam, matanya menatap nanar meja guru. “Ibu Fanny udah nggak ada, loh…” kata-kata Celine mengambang.
Mendengar nama Ibu Fanny a.k.a. Ibu Sri Partini, hatiku terasa perih. Guru ekonomiku itu emang salah satu guru favoritku. Ya, walo cara ngajarnya hampir mendekati ekstremnya Mami. “Aku tau,” jawabku singkat.  Beliau meninggal gara-gara kecelakaan mobil kira-kira setaon setelah kami lulus. God bless her soul…
Celine tiba-tiba terjangkit virus diamku. Wajahnya nampak muram, mungkin dia juga sedang mengingat-ingat lagi sosok Ibu Fanny dulu. Mengingat senyumnya. Mengingat cara ngajarnya. Mengingat nasehat dan selentingannya dulu.
“Yang lain… Apa kabarnya, ya?” kataku nyaris berbisik.
“Entahlah. Baik-baik saja, kuharap.” Celine berjalan menuju papan tulis, entah mau apa dia di sana. Mengenang rasa galau ketika Mami menyuruhnya maju buat ngerjain soal, kurasa. Entahlah.
Aku mengangguk, setuju. Tiba-tiba ada yang mengganjal di hatiku. Perasaan aneh yang lama kupendam dan kulupakan kini muncul lagi tanpa permisi. Perasaan yang harusnya sejak lama udah kukatakan padanya, hanya saja aku terlalu takut waktu itu. Aku terlalu pengecut. “Celine…” panggilku.
Dia menoleh, rambutnya mengalun mengikuti geraknya, bibirnya melontarkan kata tanya. Aku menelan ludahku dengan susah payah, ada onak duri di kerongkonganku saat ini. Sekarang atau nggak sama sekali. “Aku suka kamu…”
Celine tercengang. Aku mendekatinya. “Aku…” Lidahku kelu. “Aku suka kamu dari kelas dua SMA, Lin.”
“Suka?”
Kuanggukkan kepalaku. 
Celine menarik nafas, dalam. Sesaat kemudian dia tersenyum lalu menggeleng pelan. “Lupain aja! Itu udah lewat, Van…”
“Nggak bisa, Lin!” kataku setengah berteriak. Celine tampak kaget, mungkin nggak menyangka reaksiku akan begitu. 
Dia terhenyak sesaat. “Kamu bisa bilang gitu gara-gara liat aku sekarang, kan?!” tanya Celine –yang lebih mirip pernyataan sebenarnya. 
“Nggak, Lin!” tegasku. “Ini nggak ada hubungannya dengan kamu yang sekarang. Aku suka kamu, dan itu udah dari dulu. Dari jaman kita SMA!” 
Celine memandangku. “Dari dulu?” 
“Kamu nggak percaya?”
Dia tersenyum mengejek. “Terus kenapa kamu malah ikut-ikutan mereka ngucilin aku, Van? Apa kamu tau berat banget buat aku ke sekolah tiap paginya? Apa kamu pernah tau gimana sakitnya dikucilin sama yang lain cuma gara-gara aku kutu buku dan kampungan?! Dan sekarang… Setelah liat aku yang SEKARANG, kamu dengan enaknya bilang ‘aku suka kamu’?” ujar Celine, tajam. Matanya berkaca-kaca. Aku menunduk, malu. Benar, apa yang dikatakannya itu emang benar. Kemana aku dulu ketika dia butuh dukunganku? 
“Aku tau, dulu aku jahat banget sama kamu. Tapi asal kamu tau, aku bener-bener tersiksa saat itu. Ngeliat kamu –cewek yang aku suka– diejek dan dikucilin tapi aku nggak bisa ngapa-ngapain. kamu nggak tau rasanya, Lin.” Aku menghela nafas. 
“Aku tau, Van. Percayalah, aku tau rasanya. Aku yang ngalamin itu, inget kan?!” jawab Celine, cepat dan sinis.
Aku terdiam, nggak tau harus ngomong apa lagi. yang terucap hanyalah, “Maafin aku, Lin… Aku takut mereka ngucilin aku juga. Dan aku nggak mau itu terjadi…” 
Airmata sudah membasahi pipi Celine saat ini. Airmata yang udah lama banget nggak pernah kulihat sejak kita lulus dari sini. “Kalo kamu mau tau, Van. Aku… aku juga pernah suka sama kamu…” bibir Celine gemetar ketika mengucapkan itu. “Tapi itu dulu… Dulu sekali…” Dia membiarkan kata-katanya mengambang sejenak.
“Aku sama sekali nggak pernah nyalahin kamu karena sikap kamu waktu itu. Aku ngerti, Van. Ngerti banget kalo seorang Revan Wendrata, sang Bintang Sekolah, sama sekali nggak pantes ngebelain Celine –gadis desa tersesat,” bisik Celine.
“Nggak, Lin! Itu…”
Celine meletakkan telunjuknya ke bibirku. “Tolong, jangan ngomong apa-apa lagi, Van. Rasa sukaku ke kamu udah abis, sama kayak masa SMA yang nggak pernah bisa kita ulang lagi. selesai. Tutup buku. Dan, aku harap kamu juga bisa ngelupain aku…” Dia membelai pipiku, tangannya terasa hangat. 
“Sekarang semua udah telat. Minggu depan aku bakal nikah, Van…” katanya pelan, nyaris nggak bersuara. 
Hening yang lama.
Celine melangkahkan kakinya menuju jendela, dengan cekatan dia memanjat keluar kelas. “Jangan pernah menyesali masa lalu, Van. Nggak akan pernah ada masa kini dan masa depan tanpa masa lalu…” kata-kata Celine menggema di kelas-kelas kosong seiring dengan langkah kakinya yang terdengar menjauh. 
Dan aku… 
Aku masih terpaku di sini. Berpusar dalam sesalku yang tak kunjung selesai. Andai saja aku lebih berani waktu itu. Andai saja aku lebih tegas saat itu. Andai saja… Andai saja, Celine!

Siapa Aku?


Semuanya lenyap
Semua bias

Terseok dalam gelap
Tersungkur dalam sendiri

Aku bukan lagi aku
Lalu siapa aku kini?

Jiwaku terpuruk hancur
Tinggal serpihan kini

Entah bagaimana
Entah mengapa
Entah apa
Tak seorang pun menjawab

Aku merintih
Aku menangis
Ak berbisik
Tak seorang pun membelai


Aku bukan lagi aku
Lalu siapa aku kini?

Ajari Aku


Ajari aku untuk membenci
Ajari aku untuk menjadi kejam
Ajari aku untuk bergeming
Ajari aku untuk menjadi jahat

Hilanglah senyumku
Hilanglah ceriaku
Hilanglah baikku
Hilanglah terangku

Terlalu lelah aku menjadi putih
Terlalu menderita aku berpekerti

Desah nafasku tertahan di sini
Belum berani kuhentikan
Tak terhitung goresan merah ini
Tak mampu kutampung aliran airmata

Maka kumohon,
Ajari aku untuk membenci
Ajari aku untuk menjadi kejam
Ajari aku untuk bergeming
Ajari aku untuk menjadi jahat

Hanya untuk bertahan hidup...

Rindu


Rindu...
Aku masih merindukanmu
Dalam setiap desah nafasku
Seiring denyut kehidupanku
Aku tetap merindukanmu

Rindu...
Adakah kau merindukanku di sana?
Adakah kau merindukan kami di sini?
Jasadmu telah hancur lebur
Menyatu dengan tanah dan debu

Rindu...
Sangat rindu padamu
bahkan beruntai doa terjalin
Beratus sutta terlontar
tak jua menghapus rindu ini

Rindu...
Aku ingin kau tetap di sini
Tertawa, menangis dan marah bersama
Tapi smua hanya menjadi mimpi
Kau tlah pergi, takkan kembali

Dan disinilah aku
Terpuruk dalam rindu
Mengenang kepergianmu

Akan Tiba Masanya


akan tiba masanya, hari dimana aku harus melepasmu
sampai saat itu tiba,biarkan aku bersamamu
bersabarlah dengan amarah,sedih,tawa dan candaku
jangan biarkan aku mati tanpamu

akan tiba masanya, hari dimana aku harus melepasmu
pergi meninggalkanku untuk bersatu dengan pilihanmu
menutup lembaran kisah kita berdua
yang mungkin akan kau kubur dan lupakan

akan tiba masanya, hari dimana aku harus melepasmu
ketika tiba saat itu, aku ingin melepasmu dengan senyum dan tawa
tanpa ada airmata dan kesedihan menggelayut
tanpa ada benci dan dendam meraja

akan tiba masanya, hari dimana aku harus melepasmu
semoga bukan saat ini...

Harus Apa Aku?


entah kapan kita begini
entah kapan semua dimulai
kita saling membelakangi
punggung kita saling merintih

aku mulai lelah
tubuhku menangis lemah
tapi kamu tak melihatnya
atau tak mau melihat?

katakan harus apa aku?
katakan harus bagaimana aku?
semua seolah salah di matamu
semua terlihat salah di mataku


aku terlalu lelah sekarang
bahkan untuk berkata lelah
tak ada air mata tersisa
harapan pun mulai lenyap

tak ada peluk-cium menghujaniku
'sayang' dan 'cinta' kurasa semu
katakan ini hanya imajiku
atau apakah ini akhir yang kita tuju?

DILEMA - sebuah cerita (sangat) pendek antara fiksi dan realita


tahun 2012.
usia kita semakin bertambah.
perjalanan kita semakin singkat.
aku masih di sini, menghitung waktu. menghitung sisa kebersamaan kita tanpa kepastian yang jelas. sering terbersit tanya di benakku, masih pantaskah aku perjuangkan semua ini? masih bolehkan aku terlelap dalam mimpi indah ini? jalan di depan kita tak pernah terang, tak pernah jelas.
aku ingat, suatu waktu di masa lalu entah apa sebabnya tiba-tiba kau berkata, "suatu saat nanti aku akan bersama dia. jika saat itu tiba, aku ingin kita tetap bersama." aku tercekat kala itu, bukannya aku tidak tau kau akan menikah dan memilih dia suatu saat nanti. aku hanya kaget, begitu gamblangnya kau mengatakan semuanya kepadaku di hari itu. 
"maksudmu,menjadi simpananmu?" tanyaku terkejut.
kau mengangguk,tersenyum senang dan bangga. senang dan bangga dengan idemu yang kau pikir cemerlang. tingkahmu saat itu persis seperti seorang anak kecil yang pamer kepada ibunya karena bisa mengancingkan kemeja sendiri. 
hening sempat terbentang di antara kita sampai aku menggelengkan kepala kuat, lalu berkata, "tidak bisa seperti ini,sayang. kau harus memilih. diriku atau dirinya. aku tidak mau menjadi perusak hubungan kalian nantinya,walaupun sebenarnya dia yang akan merebutmu dari sisiku..."
kau menunduk, kecewa membayang di raut wajahmu. "benar-benar tidak bisa?" 
dengan enggan aku kembali menggeleng. setengah dari diriku ingin mengangguk dan berkata bisa. tapi aku tau itu tidak mungkin. itu tidak akan adil bagi kau,aku dan dia. dan mungkin, anak-anak kalian nantinya.
"ah, sudahlah. lupakan saja kalau gitu, toh ini cuma rencanaku. belum tentu aku akan bersama dia." kau berkata lagi,memaksa tersenyum lalu mengacak-acak rambutku. 
aku tau aku tidak akan bisa melupakan hari itu dengan segala pembicaraan yang telah terjadi. sejak hari itu, aku mulai belajar untuk tidak terlalu terlena dalam kebahagiaan semu ini. belajar untuk tidak terlalu bergantung dengan dirimu. belajar untuk menerima kenyataan bahwa kelak kau akan pergi meninggalkanku. belajar untuk mulai bergelut dengan kebimbangan dan sakit.
aku pasti bisa. aku baik-baik saja sebelum bertemu denganmu,dan akan baik-baik saja tanpamu nantinya.
tapi sepertinya aku salah.
sudah dua tahun berselang dari hari itu, dan rencanamu itu masih membayangiku seperti bisul di tubuhku yang tak pernah pecah. alih-alih membaik, bisul itu semakin memburuk dan mulai menggerogotiku.
aku putus asa. nyaris mati tersiksa pikiranku sendiri. tiap tahun berganti,tiap itu pula aku semakin takut.
takut kehilanganmu. takut kita tidak bisa bersama lagi. takut dia akan datang dan merebutmu dari sisiku.
aku masih menghitung sisa waktu kita. tanpa kepastian. tanpa kejelasan darimu. sampai kapan aku harus bertahan dan bersabar?