Jumat, 28 September 2012

Karena Kamu Lelaki


Kemana dia? Udah dua hari dia absen. Apa dia sakit? Nggak mungin! Dia sehat, sangat sehat. Nggak seperti aku yang penyakitan ini. Dia anak yang kuat. Jadi nggak mungkin dia sakit. Aku menatap ke kursi sebelah. Sosok yang biasa duduk di samping itu tak nampak hari ini. Mungkin dia belum datang. Mungkin dia telat hari ini. Lagian baru jam enam lebih lima puluh menit. Masih ada lima menit tersisa sebelum bel masuk bunyi. Ya, dia pasti telat. Aku kenal dia. Aku tau semua tentang dia. Dia pasti masuk hari ini. Semoga…
KRINGGG….!!!
Bel baru aja bunyi, tapi dia belum datang juga. Masa dia beneran nggak masuk lagi hari ini? Apa mungkin gara-gara kejadian itu? Oh, kuharap bukan karena itu dia nggak masuk hari ini. Lebih baik aku mati daripada dia membenciku. Tuhan, jangan buat dia membenciku. Tolong, jangan jauhkan aku dari Redoku… Aku meremas tanganku, gelisah dan takut berbaur di hatiku. Biasanya kalo aku mulai meremas tangan seperti ini, Redo pasti menonjok pelan bahuku. Lalu dengan santainya dia akan cerita salah satu lelucon joroknya sampai aku sakit perut menahan tawa. 
Sial, Pak Yo udah masuk kelas. Kamu beneran nggak masuk, Do? Aku bisa mendengar Pak Yo yang mulai menyuruh Linda, sekretaris kelas, mencatat teori ekonomi di whiteboard. Seperti biasanya, bapak tua satu itu terlalu malas untuk mengajar. Heran, kenapa masih ada guru seperti dia. Ah, aku jadi teringat artikel yang kubaca di koran beberapa hari yang lalu. UPAH GURU DIBAWAH MINIMUM, begitu headline koran itu. Mungkin itu alasannya, guru-guru seperti Pak Yo enggan mengajar di kelas. Nggak heran, Indonesia semakin tertinggal. Kalo sudah begini, kami –generasi muda yang notabene siswa yang dirugikan dan ditekan. Huh, benar-benar adil orang-orang (sok) dewasa itu…
Buku catatanku mulai terisi teori-teori ekonomi. Seharusnya nggak perlu dicatat lagi. Ralat. Disalin tepatnya, secara semua yang dicatatkan di whiteboard itu memang hanya menyalin buku cetak yang harus kami beli kalo nggak mau kena hukuman Pak Yo. Benar-benar pemborosan uang dan waktu, begitu yang sering dikatakan Redo padaku. 
Well, kau harus lihat buku-buku catatan Redo. Kosong. Seputih kulitku yang pucat. Redo terlalu malas untuk mencatat apapun juga. Dia nggak suka mencatat. Pelajaran apapun itu. Tapi biarpun begitu Redo anak yang cerdas. Buktinya dia berhasil masuk ranking sepuluh besar di kelasku, kelas unggulan di sekolah kami. Mungkin itu sebabnya nggak ada guru yang berani protes kalo dia nggak pernah mencatat. 
Aku menatap hampa. Redo bener-bener absen hari ini. udah break pertama, nggak mungkin dia masuk sekolah kalo kayak gini. Rasanya aneh tanpa Redo di sekolah ini. Dia alasanku bertahan di sini. Walau harus mati-matian membujuk mama dan papa biar bisa ke sekolah. Kebingungan makin menguasaiku. Haa, abis ini olahraga… Pelajaran terkutuk yang paling kubenci. Mungkin karena aku nggak boleh olahraga. Kau pasti sudah tau alasannya kenapa. Yup, karena aku terlalu lemah untuk hal-hal seperti itu. 
Jam olahraga biasanya hanya kuhabiskan dengan duduk di bangku pinggir lapangan. Menonton Redo bermain basket bersama teman-teman kelasku yang lain. Menatapnya iri sekaligus kagum. Redo pebasket yang tangguh. Dia pernah ditawari menjadi pemain inti di team nasional. Sayangnya, tawaran itu ditolaknya. Males, alasannya ketika aku bertanya kenapa. Ya, itulah Redo. Tak pernah mau dikekang. Bebas dan liar. Seperti angin yang membuaimu lembut lalu mengacak rambutmu sambil tertawa terbang menjauh. Ada dan dekat tapi tak pernah bisa kumiliki.
Lapangan basket nampak sepi. Ya nggak sepi sebenarnya, masih banyak teman-temanku yang bermain di sana. Hanya saja bagiku lapangan itu tampak sepi. Tidak hidup. Mungkin karena nggak ada Redo di sana. Mungkin… Aku juga nggak begitu yakin. Sama seperti aku yang nggak yakin dengan tujuanku dilahirkan di dunia ini.

***

Sial, aku nggak bisa konsen dengan penjelasan Ms. Tina tentang tenses. Gimana bisa ngerti kalo apa yang dia omongin aja aku nggak ngerti artinya. Emang sih bahasa Inggris itu penting banget buat dipelajarin. Tapi nggak mesti jelasinnya pake bahasa Inggris juga kan? Dijelasin pake bahasa Indonesia aja aku yakin belum tentu banyak yang ngerti. .  Oke, oke aku akuin emang aku payah di pelajaran bahasa Inggris. Maksudku, benar-benar PAYAH.  Tapi apa yang aku ngomongin juga bener kan? Hayoo ngaku aja deh kalian semua.
Ketidakmengertianku membuat pikiranku melayang ke kejadian tiga hari yang lalu. Wajahku tanpa tedeng aling-aling langsung memerah. Teringat bagaimana aku mencium Redo saat itu. Entah darimana keberanian macam itu kudapatkan. Aku pasti sudah gila. Bener-bener gila! Tapi, bukankah cinta terkadang membuat kita jadi gila mendadak??
Tiga hari yang lalu, aku terpaksa duduk di kelas sedikit lebih lama karena penyakit sialanku kambuh. Yang lain udah pada pulang, hanya ada Redo yang menungguiku dengan wajah prihatin. Kalo mau jujur aku paling benci jika ada orang yang melihatku dengan tatapan prihatin atau kasihan. Emangnya hanya karena aku penyakitan lalu patut dikasihani?! Nggak kan! Tapi berhubung itu Redo, ya apa boleh buat. Pengecualian buat Redo. Hanya untuknya. Diam-diam aku senang banget karena Redo care kayak gini.
Tangan Redo membelai punggungku lembut. Darahku berdesir cepat, jantungku tiba-tiba berdetak makin kencang. Sangking kencangnya aku sampe takut Redo bisa mendengarnya. 
“Udah baikan?”
Aku mengangguk, kepalaku tertunduk. Malu kalo sampe Redo melihat semburat merah di pipiku saat ini. 
Dia menelengkan kepala, berusaha menatap wajahku. “Bener udah baikan?” Wajah kami begitu dekatnya sampai-sampai aku bisa mencium aroma permen kesukaannya dari desah nafasnya ketika dia berkata, “Kamu pucat banget…”
Kudongakkan kepala memandangnya. Bibir kami hanya berjarak beberapa centi. Lalu entah apa yang merasukiku saat itu, bukannya menjauh aku malah makin mendekatkan bibirku. Detik berikutnya aku sudah melumat bibir Redo yang merah. Dia menggerakkan kepalanya ke belakang, berusaha menjauh dariku. Aku segera memeluknya erat, tak rela ciuman ini terhenti. Redo hanya bisa terpaku sejenak sebelum akhirnya membalas ciumanku. Tiba-tiba Redo mendorongku lembut, kali ini aku melepaskannya. Matanya sayu menatapku. 
Dadaku terasa penuh sampai rasanya mau meledak. Penuh dengan bimbang. Penuh dengan gelisah. Penuh juga dengan cinta dan gairah yang meluap-luap. Ini pertama kalinya aku mencium seseorang. Ciuman pertamaku. Apple-mint. Bibir dan lidah Redo rasanya seperti permen apple-mint. Membuatku mabuk dan ketagihan sampai saat ini.
Ada apa, tanyaku waktu itu. Redo tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Tak pernah aku melihatnya selemah ini sebelumnya. Karena akukah? Karena ciuman kamikah? Redo berbalik lalu berlari menjauh meninggalkan aku sendirian di kelas. Tiba-tiba aku merasa bodoh. Bodoh karena berani menciumnya seperti itu. Sekarang dia pasti membenciku. Pasti…

***

KRINGGG…
Desah nafas lega bercampur sorakan bergemuruh di kelasku. Aku segera memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam ransel. Lewat juga hari ini tanpa Redo. Sepi. Hampa. Aku menarik nafas dalam. Ada rindu menyelusup dalam hatiku. Aku rindu Redo. Seandainya saja aku nggak gegabah menciumnya, tentu hari ini dia masih di sampingku. Menemaniku dengan segala tingkah konyolnya. Kamu marah, Do? Kamu marah sama aku? Jika ya, bilang aja, Do. Jangan kayak gini. Jangan hukum aku dengan cara ini… 
Aku melangkah perlahan menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Pak Man, sopirku, belum datang menjemputku. Hari ini sekolah dibubarkan lebih awal, ada rapat guru katanya. Hapeku berbunyi, paling sms balesan dari mama. Tadi aku emang sms mama ngabarin aku pulang cepet biar Pak Man nggak kelamaan jemput. 
1 new message.
Nama yang tertera di layar hapeku membuat jantungku berdebar-debar. 
Opening…
Redo_skul :  
Dah blk? Ak mo ngmg sm kmu. Ak d kls skrg. Jgn ampe ktauan yg lain palg guru.
Segera aku berlari ke kelasku. Redo. Dia di sini. Redo di sini! Nafasku terengah-engah ketika aku sampai di kelas kami yang kosong. Dia berdiri membelakangiku. Seragam sekolahnya tampak kusut.
“Do…” panggilku pelan.
Dia menoleh. Rambutnya yang dipotong mengikuti model harajuku berantakan dipermainkan angin. Wajah tampan Redo sedikit menegang melihatku. Dia gugup. Percayalah, aku tau itu walau Redo mati-matian menutupinya.
“Kamu kemana aja dua hari ini? Aku telepon nggak diangkat, sms juga nggak dibales.”
Redo menatapku dengan cara yang nggak pernah dia lakukan sebelumnya. Bingung, benci tapi juga ada hangat terpancar. Dia membasahi bibirnya yang nampak kering. Bibir itu yang kucium tiga hari yang lalu… Astaga! Apa yang kupikirkan?!
Tenggorokanku rasanya ditumbuhi duri, susah banget mau ngomong. Ada apa denganku? “Kamu… kamu marah?” tanyaku setelah bersusah payah.
“Nggak…” Redo memalingkan wajahnya sejenak. “Aku cuma bingung. Aku nggak bisa ketemu kamu dulu, Na… Itu aja.”
“Makanya kamu bolos dua hari ini?” tembakku langsung. Dia mengangguk pelan.
“Aku…” Suaraku serak, nyaris nggak terdengar. Aku menggelengkan kepala, mencoba menghalau gugupku. “Aku suka kamu…” Aku menarik nafas sebelum akhirnya menyambung, “Aku tau kamu pasti berpikir aku gila atau aneh, Do. Tapi ini benar, aku suka kamu…”
Redo diam. Dia masih tetap memandangku. “Aku tau…”
Aku menantinya melanjutkan kalimatnya. Aku tau dia belum selesai.
“Dan… Aku sama sekali nggak berpikir kamu gila.”
“Benar?” tanyaku penasaran. 
Dia mengangguk. “Itu hak kamu, Narada. Hak kamu untuk mencintai siapa aja…” Dia diam lagi. Dia nggak pernah diam seperti ini, dan aku benci Redo yang kayak gini. “Tapi kenapa aku? Kenapa harus aku yang kamu suka?” sambungnya lagi. Wajahnya lebih kuyu daripada tadi.
Aku mengernyitkan dahi, nggak tau harus jawab apa. Seharusnya kamu jangan tanyakan itu, Do. Kamu nggak tau gimana susahnya aku menjawab pertanyaan itu. Jauh… Jauh sebelum kamu bertanya, aku sudah lebih dulu mempertanyakan hal itu kepada diriku sendiri. Mengapa aku menyukaimu? Mengapa aku menyukai cowok kayak kamu, Do? Mengapa tiap mimpiku selalu dipenuhi sosokmu? Aku udah mencoba mencari jawabnya, Do. Tapi nihil. Yang aku tau aku mencintaimu. Aku suka Redo. Aku cinta Redo!
“Aku… Ini salah, Na. Nggak harusnya kita…. Nggak pantes kita ciuman waktu itu!” Redo menunduk, suaranya terdengar aneh. Menangiskah dia?
“Maafin aku, Do…” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Rido menggelengkan kepala kuat-kuat. “Kamu nggak salah, Na! Sama sekali nggak salah. Yang salah itu aku…” Redo terisak. “Aku yang salah karena aku juga suka kamu, Na..” 
Apa?! Apa aku nggak salah dengar? Apa yang dikatakan Redo tadi? Dia… Dia juga suka aku? 
Aku berjalan mendekati Redo lalu memeluknya erat. “Kalo gitu apa lagi yang perlu kita omongin lagi, Do? Kita sama-sama saling cinta. Apa yang salah dari itu?”
Redo membenamkan wajahnya ke pundakku. Suaranya mendesah, berbisik pelan di telingaku, “Karena… Karena kita sama-sama cowok, Narada. Itu yang salah…”
Aku terpaku. Mendadak, desir angin terdengar begitu kuat mengisi gendang telingaku. Desir dari angin yang bebas dan liar. Angin yang nggak akan bisa kurengkuh selamanya…

Andai Saja


Untuk kesekian kalinya kupandang papan nama di gedung depanku. SMA XAVERIUS 3 PALEMBANG. Ada getar aneh merambat di dadaku saat ini. Rindu, sedih, sebal, senang dan kagum campur aduk jadi satu. Almamater tercinta atau malah almamater terkutuk? Aku memandang sekelilingku. Well, rasanya nggak ada yang berubah dari sekolah ini, masih tetap sempit dan terasa penuh di mataku. Tapi… tunggu dulu. Coba lihat catnya! Dulu gedung-gedungnya dicat warna putih, kini krem mendominasinya. Not bad, walau masih tampak suram hahaha
Perlahan aku mengitari lapangan basket, lalu duduk di bangku tepi lapangan itu. Di sini tempat nongkrong favoritku kelas satu dulu. Selain letaknya yang pas di depan kelasku, dari sini kau juga bisa melihat semua orang lalu lalang dari dan menuju kantin. Lumayanlah buat sekedar scanning cewek-cewek, kali-kali aja ada yang cocok hehe. Pandanganku tiba-tiba terhenti pada sosok perempuan yang berdiri jauh di depanku. Rasanya aku kenal sosok itu. Nggak yakin juga, sih, terutama kalo kau ngeliatnya dari jarak tiga meter kayak gini.
Baru aja aku hendak mendekatinya ketika dia setengah berlari menghampiriku. Dan di sinilah dia berdiri, di depanku. Dia merapikan rambut panjangnya yang berantakan dipermainkan angin, lalu dengan pedenya dia mengulurkan tangan. Aku mengernyitkan dahi, mengorek ingatanku, kali-kali aja aku kenal dia. Hasilnya? Nihil. Rasanya aku emang nggak kenal dia. Tapi kenapa dia senyam senyum nggak jelas gitu? Mungkinkah dia naksir aku? Hoo, geer! Tapi kalo emang dia mau, aku nggak bakal keberatan, kok. Secara dia emang cantik banget hehe.
“Revan, kan? Revan Wendrata, lulus taon 2004.” katanya, yakin. Tangannya masih menanti tanganku. Aku menaikkan kedua alisku, tambah bingung koq dia tau nama dan kapan aku lulus. Tanpa sadar kusambut uluran tangannya. Gila, lembut banget! Kayak megang porselen Cina. 
“Sapa, ya?”
Dia menelengkan kepalanya. “Lupa?” Gadis itu memamerkan senyum manisnya sekali lagi. 
Sapa dia? Think, Revan. Think! Tet tot. I still can’t remember her…
“Ini aku! Celine,” ujarnya setelah membiarkanku terdiam cukup lama.
Celine? Celine… Celine… Celine yang mana, ya? Aku menatapnya dari kepala ke ujung kaki. Mataku hampir meloncat keluar ketika ingatanku terlempar jauh ke jaman-jaman SMA dulu. Astaga! Celine yang itu? Masa, sih?! Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. “Celine yang kutu buku dan pemalu itu? Yang dulu pake kacamata setebal pantat botol, kan? Yang rambutnya dikepang dua??” cecarku tanpa sadar.
Celine tersenyum getir, wajahnya merah. “Iya, Celine yang itu…” jawabnya pelan.
Ups, Revan, kamu bego banget, sih! How could you do this to her! “Maaf…” kataku sungguh-sungguh, baru ngeh mungkin aku bikin dia tersinggung. Dan, kayaknya sih emang bener gitu…
Dia menggelengkan kepala. “Nggak pa-pa, kok. Emang dulu aku gitu, kan?” sahutnya maklum.
Aku menggoyangkan badanku, kikuk. Nggak tau harus ngomong apa lagi. Mau nggak mau mataku terus memperhatikannya, saat ini dia udah duduk di bangku. Kacamatanya entah kemana sekarang, digantikan lensa kontak berwarna hijau jamrud. Rambut kepangnya dulu –yang membuatnya dijuluki ‘Gadis desa tersesat’- kini terurai indah, dipotong shaggy-layer dan dicat coklat pirang. “Kamu bener-bener berubah,” kataku, terpesona. “Tambah cantik…” Sengaja kupelankan range suaraku. Desir aneh yang dulu pernah hinggap di hatiku kini kembali lagi.
“Apanya yang tambah cantik?” tanyanya tiba-tiba sambil menatapku bingung.
Aku menggeleng cepat. “Itu… Anu… Sekolah ini…” gumamku nggak jelas sambil asal tunjuk. “Keliatan cantik,” sambungku cepat. Shitt! Mudah-mudahan dia nggak denger yang barusan. Dia ber-ooh ria sejenak sebelum dengan cueknya menarikku menyusuri koridor kelas.
Kami berhenti di depan kelas XI-A2 –yang dulunya kelas 3IPS5, kelas kami saat itu. Aku menekan-nekan gagang pintu. Terkunci. Kupandang Celine sambil mengendikkan bahu. “Nggak bisa masuk. Kita ke tempet lain aja yuk!” ajakku.
Celine menggeleng lalu tersenyum jahil, sesaat dia celingukan kanan-kiri. Setelah yakin nggak ada orang selain kami di sini, dia mencopot beberapa kaca jendela kelas. “Ayo!” serunya ketika jendelanya kini muat untuk badan kami. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya. Nggak ada lagi cewek yang hanya menunduk tiap kali diajak ngomong. Nggak ada lagi cewek yang cuma bisa menahan tangsi ketika seseorang mengejeknya. Celine yang pemalu itu kini berubah drastis. Dia terlihat lebih supel. Lebih pede. Lebih… Kuat. 
“Huaa… Kangen!” jeritnya sambil menatap sekeliling kelas.
Aku mengangguk, menyetujui kata-katanya barusan. Celine berlari menuju meja paling depan –tepat di depan meja guru- lalu mengelus-elus meja itu. Aku ingat, meja yang selalu dihindari oleh anak-anak lain itu memang meja favoritnya. Lebih cepet ngerti kalo duduk di sini, jawabnya ketika suatu waktu aku bertanya. Tentu saja jawaban itu langsung disambut cemooh ‘Sok-pinter-deh-lo-dasar-norak’ dari anak-anak sekelas, termasuk –tentu saja– aku.
Aku berjalan ke sudut kanan ruang kelas, tujuanku: meja paling belakang. Mejaku dulu. Segera saja aku duduk di bangku, tanganku mengusap pelan meja itu. Rasanya masih sama kayak lima tahun yang lalu, aku bahkan bisa melihat tulisan tanganku ketika mencatat penggalan catatan Tata Negara ku di meja itu. Apa mejanya nggak pernah diganti? Ah, waktu itu koq rasanya bahagia banget. Nggak perlu mikirin kejer skripsi. Nggak perlu mikirin cari kerja. Taunya cuma maen, jajan, ngecengin adek kelas, dan belajar. Ralat. Kata yang terakhir itu kayaknya lebih tepat kalo diganti dengan ‘Nyontek’. Hmm, ternyata emang jauh lebih cocok dan… sesuai kenyataan hehehe. 
Well, aku juga masih ingat. Betapa seringnya aku dan teman-teman yang lain diem-diem cerita di belakang pas jam pelajaran. Topiknya, apalagi kalo bukan tentang siapa pacaran atau putus sama siapa atau kemaren malem yang menang bola tim kesebelasan mana. Kadang, kami juga seri mencuri makan di kelas –yang langsung dapet hadiah jeweran atau teguran dari guru yang ngajar. Yah, hal-hal konyol seperti itulah (tapi ngangenin. Bener!). 
Sering juga kami mengharapkan lulus SMA secepat mungkin. Alasannya, tak lain dan tak bukan karena: BOSAN! Bosan belajar. Bosan bangun pagi dan pulang sore. Bosan ujian dan dapet pe-er yang bagi kami nggak jelas. Bosan juga ngeliatin temen-temen yang sama selama tiga taon berturut-turut. B-O-S-A-N. Cuma itu, kok. Bener. Sumpah! 
Oke, oke… Sebenarnya masih ada yang lain. Salah satunya biar nggak ketemu sama guru-guru yang bawelnya minta ampun. Terutama… Mami. Yup, bener banget tebakanmu! Mami Killer a.k.a. Ibu Kristin S. yang itu. Guru matematika yang ketenarannya sudah menjadi legenda Xavega. Duh, kemana semuanya itu pas kuliah atau kerja saat ini??? Sekarang, aku bersedia ‘membunuh’ cuma untuk mengulang masa-masa itu lagi. Ah, seandainya waktu bisa diputar kembali...
“Mikirin apa?” Suara Celine membawaku kembali ke masa kini.
“Jaman SMA dulu sama Mami. Kamu?” 
Celine mengangguk. “Sama,” jawabnya singkat. Dia tertawa sebelum akhirnya menyambung, “Yang paling dibenci itu ternyata paling disayang, ya? Bener juga kata Mami waktu itu…”
Aku tersenyum mengiyakan.
Dia diam, matanya menatap nanar meja guru. “Ibu Fanny udah nggak ada, loh…” kata-kata Celine mengambang.
Mendengar nama Ibu Fanny a.k.a. Ibu Sri Partini, hatiku terasa perih. Guru ekonomiku itu emang salah satu guru favoritku. Ya, walo cara ngajarnya hampir mendekati ekstremnya Mami. “Aku tau,” jawabku singkat.  Beliau meninggal gara-gara kecelakaan mobil kira-kira setaon setelah kami lulus. God bless her soul…
Celine tiba-tiba terjangkit virus diamku. Wajahnya nampak muram, mungkin dia juga sedang mengingat-ingat lagi sosok Ibu Fanny dulu. Mengingat senyumnya. Mengingat cara ngajarnya. Mengingat nasehat dan selentingannya dulu.
“Yang lain… Apa kabarnya, ya?” kataku nyaris berbisik.
“Entahlah. Baik-baik saja, kuharap.” Celine berjalan menuju papan tulis, entah mau apa dia di sana. Mengenang rasa galau ketika Mami menyuruhnya maju buat ngerjain soal, kurasa. Entahlah.
Aku mengangguk, setuju. Tiba-tiba ada yang mengganjal di hatiku. Perasaan aneh yang lama kupendam dan kulupakan kini muncul lagi tanpa permisi. Perasaan yang harusnya sejak lama udah kukatakan padanya, hanya saja aku terlalu takut waktu itu. Aku terlalu pengecut. “Celine…” panggilku.
Dia menoleh, rambutnya mengalun mengikuti geraknya, bibirnya melontarkan kata tanya. Aku menelan ludahku dengan susah payah, ada onak duri di kerongkonganku saat ini. Sekarang atau nggak sama sekali. “Aku suka kamu…”
Celine tercengang. Aku mendekatinya. “Aku…” Lidahku kelu. “Aku suka kamu dari kelas dua SMA, Lin.”
“Suka?”
Kuanggukkan kepalaku. 
Celine menarik nafas, dalam. Sesaat kemudian dia tersenyum lalu menggeleng pelan. “Lupain aja! Itu udah lewat, Van…”
“Nggak bisa, Lin!” kataku setengah berteriak. Celine tampak kaget, mungkin nggak menyangka reaksiku akan begitu. 
Dia terhenyak sesaat. “Kamu bisa bilang gitu gara-gara liat aku sekarang, kan?!” tanya Celine –yang lebih mirip pernyataan sebenarnya. 
“Nggak, Lin!” tegasku. “Ini nggak ada hubungannya dengan kamu yang sekarang. Aku suka kamu, dan itu udah dari dulu. Dari jaman kita SMA!” 
Celine memandangku. “Dari dulu?” 
“Kamu nggak percaya?”
Dia tersenyum mengejek. “Terus kenapa kamu malah ikut-ikutan mereka ngucilin aku, Van? Apa kamu tau berat banget buat aku ke sekolah tiap paginya? Apa kamu pernah tau gimana sakitnya dikucilin sama yang lain cuma gara-gara aku kutu buku dan kampungan?! Dan sekarang… Setelah liat aku yang SEKARANG, kamu dengan enaknya bilang ‘aku suka kamu’?” ujar Celine, tajam. Matanya berkaca-kaca. Aku menunduk, malu. Benar, apa yang dikatakannya itu emang benar. Kemana aku dulu ketika dia butuh dukunganku? 
“Aku tau, dulu aku jahat banget sama kamu. Tapi asal kamu tau, aku bener-bener tersiksa saat itu. Ngeliat kamu –cewek yang aku suka– diejek dan dikucilin tapi aku nggak bisa ngapa-ngapain. kamu nggak tau rasanya, Lin.” Aku menghela nafas. 
“Aku tau, Van. Percayalah, aku tau rasanya. Aku yang ngalamin itu, inget kan?!” jawab Celine, cepat dan sinis.
Aku terdiam, nggak tau harus ngomong apa lagi. yang terucap hanyalah, “Maafin aku, Lin… Aku takut mereka ngucilin aku juga. Dan aku nggak mau itu terjadi…” 
Airmata sudah membasahi pipi Celine saat ini. Airmata yang udah lama banget nggak pernah kulihat sejak kita lulus dari sini. “Kalo kamu mau tau, Van. Aku… aku juga pernah suka sama kamu…” bibir Celine gemetar ketika mengucapkan itu. “Tapi itu dulu… Dulu sekali…” Dia membiarkan kata-katanya mengambang sejenak.
“Aku sama sekali nggak pernah nyalahin kamu karena sikap kamu waktu itu. Aku ngerti, Van. Ngerti banget kalo seorang Revan Wendrata, sang Bintang Sekolah, sama sekali nggak pantes ngebelain Celine –gadis desa tersesat,” bisik Celine.
“Nggak, Lin! Itu…”
Celine meletakkan telunjuknya ke bibirku. “Tolong, jangan ngomong apa-apa lagi, Van. Rasa sukaku ke kamu udah abis, sama kayak masa SMA yang nggak pernah bisa kita ulang lagi. selesai. Tutup buku. Dan, aku harap kamu juga bisa ngelupain aku…” Dia membelai pipiku, tangannya terasa hangat. 
“Sekarang semua udah telat. Minggu depan aku bakal nikah, Van…” katanya pelan, nyaris nggak bersuara. 
Hening yang lama.
Celine melangkahkan kakinya menuju jendela, dengan cekatan dia memanjat keluar kelas. “Jangan pernah menyesali masa lalu, Van. Nggak akan pernah ada masa kini dan masa depan tanpa masa lalu…” kata-kata Celine menggema di kelas-kelas kosong seiring dengan langkah kakinya yang terdengar menjauh. 
Dan aku… 
Aku masih terpaku di sini. Berpusar dalam sesalku yang tak kunjung selesai. Andai saja aku lebih berani waktu itu. Andai saja aku lebih tegas saat itu. Andai saja… Andai saja, Celine!

Siapa Aku?


Semuanya lenyap
Semua bias

Terseok dalam gelap
Tersungkur dalam sendiri

Aku bukan lagi aku
Lalu siapa aku kini?

Jiwaku terpuruk hancur
Tinggal serpihan kini

Entah bagaimana
Entah mengapa
Entah apa
Tak seorang pun menjawab

Aku merintih
Aku menangis
Ak berbisik
Tak seorang pun membelai


Aku bukan lagi aku
Lalu siapa aku kini?

Ajari Aku


Ajari aku untuk membenci
Ajari aku untuk menjadi kejam
Ajari aku untuk bergeming
Ajari aku untuk menjadi jahat

Hilanglah senyumku
Hilanglah ceriaku
Hilanglah baikku
Hilanglah terangku

Terlalu lelah aku menjadi putih
Terlalu menderita aku berpekerti

Desah nafasku tertahan di sini
Belum berani kuhentikan
Tak terhitung goresan merah ini
Tak mampu kutampung aliran airmata

Maka kumohon,
Ajari aku untuk membenci
Ajari aku untuk menjadi kejam
Ajari aku untuk bergeming
Ajari aku untuk menjadi jahat

Hanya untuk bertahan hidup...

Rindu


Rindu...
Aku masih merindukanmu
Dalam setiap desah nafasku
Seiring denyut kehidupanku
Aku tetap merindukanmu

Rindu...
Adakah kau merindukanku di sana?
Adakah kau merindukan kami di sini?
Jasadmu telah hancur lebur
Menyatu dengan tanah dan debu

Rindu...
Sangat rindu padamu
bahkan beruntai doa terjalin
Beratus sutta terlontar
tak jua menghapus rindu ini

Rindu...
Aku ingin kau tetap di sini
Tertawa, menangis dan marah bersama
Tapi smua hanya menjadi mimpi
Kau tlah pergi, takkan kembali

Dan disinilah aku
Terpuruk dalam rindu
Mengenang kepergianmu

Akan Tiba Masanya


akan tiba masanya, hari dimana aku harus melepasmu
sampai saat itu tiba,biarkan aku bersamamu
bersabarlah dengan amarah,sedih,tawa dan candaku
jangan biarkan aku mati tanpamu

akan tiba masanya, hari dimana aku harus melepasmu
pergi meninggalkanku untuk bersatu dengan pilihanmu
menutup lembaran kisah kita berdua
yang mungkin akan kau kubur dan lupakan

akan tiba masanya, hari dimana aku harus melepasmu
ketika tiba saat itu, aku ingin melepasmu dengan senyum dan tawa
tanpa ada airmata dan kesedihan menggelayut
tanpa ada benci dan dendam meraja

akan tiba masanya, hari dimana aku harus melepasmu
semoga bukan saat ini...

Harus Apa Aku?


entah kapan kita begini
entah kapan semua dimulai
kita saling membelakangi
punggung kita saling merintih

aku mulai lelah
tubuhku menangis lemah
tapi kamu tak melihatnya
atau tak mau melihat?

katakan harus apa aku?
katakan harus bagaimana aku?
semua seolah salah di matamu
semua terlihat salah di mataku


aku terlalu lelah sekarang
bahkan untuk berkata lelah
tak ada air mata tersisa
harapan pun mulai lenyap

tak ada peluk-cium menghujaniku
'sayang' dan 'cinta' kurasa semu
katakan ini hanya imajiku
atau apakah ini akhir yang kita tuju?

DILEMA - sebuah cerita (sangat) pendek antara fiksi dan realita


tahun 2012.
usia kita semakin bertambah.
perjalanan kita semakin singkat.
aku masih di sini, menghitung waktu. menghitung sisa kebersamaan kita tanpa kepastian yang jelas. sering terbersit tanya di benakku, masih pantaskah aku perjuangkan semua ini? masih bolehkan aku terlelap dalam mimpi indah ini? jalan di depan kita tak pernah terang, tak pernah jelas.
aku ingat, suatu waktu di masa lalu entah apa sebabnya tiba-tiba kau berkata, "suatu saat nanti aku akan bersama dia. jika saat itu tiba, aku ingin kita tetap bersama." aku tercekat kala itu, bukannya aku tidak tau kau akan menikah dan memilih dia suatu saat nanti. aku hanya kaget, begitu gamblangnya kau mengatakan semuanya kepadaku di hari itu. 
"maksudmu,menjadi simpananmu?" tanyaku terkejut.
kau mengangguk,tersenyum senang dan bangga. senang dan bangga dengan idemu yang kau pikir cemerlang. tingkahmu saat itu persis seperti seorang anak kecil yang pamer kepada ibunya karena bisa mengancingkan kemeja sendiri. 
hening sempat terbentang di antara kita sampai aku menggelengkan kepala kuat, lalu berkata, "tidak bisa seperti ini,sayang. kau harus memilih. diriku atau dirinya. aku tidak mau menjadi perusak hubungan kalian nantinya,walaupun sebenarnya dia yang akan merebutmu dari sisiku..."
kau menunduk, kecewa membayang di raut wajahmu. "benar-benar tidak bisa?" 
dengan enggan aku kembali menggeleng. setengah dari diriku ingin mengangguk dan berkata bisa. tapi aku tau itu tidak mungkin. itu tidak akan adil bagi kau,aku dan dia. dan mungkin, anak-anak kalian nantinya.
"ah, sudahlah. lupakan saja kalau gitu, toh ini cuma rencanaku. belum tentu aku akan bersama dia." kau berkata lagi,memaksa tersenyum lalu mengacak-acak rambutku. 
aku tau aku tidak akan bisa melupakan hari itu dengan segala pembicaraan yang telah terjadi. sejak hari itu, aku mulai belajar untuk tidak terlalu terlena dalam kebahagiaan semu ini. belajar untuk tidak terlalu bergantung dengan dirimu. belajar untuk menerima kenyataan bahwa kelak kau akan pergi meninggalkanku. belajar untuk mulai bergelut dengan kebimbangan dan sakit.
aku pasti bisa. aku baik-baik saja sebelum bertemu denganmu,dan akan baik-baik saja tanpamu nantinya.
tapi sepertinya aku salah.
sudah dua tahun berselang dari hari itu, dan rencanamu itu masih membayangiku seperti bisul di tubuhku yang tak pernah pecah. alih-alih membaik, bisul itu semakin memburuk dan mulai menggerogotiku.
aku putus asa. nyaris mati tersiksa pikiranku sendiri. tiap tahun berganti,tiap itu pula aku semakin takut.
takut kehilanganmu. takut kita tidak bisa bersama lagi. takut dia akan datang dan merebutmu dari sisiku.
aku masih menghitung sisa waktu kita. tanpa kepastian. tanpa kejelasan darimu. sampai kapan aku harus bertahan dan bersabar? 

Candu Perih


perih dan panas. pecahan kaca itu menggores pergelangan tanganku, tak butuh waktu lama sampai akhirnya darah mengalir dari luka itu. aku mengernyit,menahan sakit yang semakin lama semakin terasa. tak cukup dalam goresan itu. tak cukup untuk membuatku mati kehabisan darah. tak apa, itu memang kusengaja. aku memang belum mau mati. tidak sekarang. tidak dengan kondisi dan dengan cara yang menyedihkan seperti ini. maksudku, aku belum seputus asa itu untuk mengakhiri hidupku sendiri.
katakanlah, aku hanya butuh rasa perih ini di tubuhku. perih yang cukup untuk sekedar membuat hampa di hatiku menghilang, walau untuk sementara. perih yang membantuku untuk tetap merasa hidup. untuk tetap membuatku sadar, bahwa aku masih manusia. masih bisa merasakan sakit. masih bisa mengeluarkan darah jika terluka.
sial, aku mulai menangis. lucu sebenarnya jika kupikirkan lagi, biasanya aku bukan orang yang gampang meneteskan airmata. seberapa sakitnya aku terjatuh. seberapa seringnya aku dijatuhkan. aku hampir tak pernah menangis. tapi kini, kalau kau bisa melihatnya, ada aliran air mengalir dari sudut mataku membasahi pipi. dan ini hanya karena sebuah goresan di pergelangan tanganku. 
darah yang mengalir tadi mulai mengering, perihnya pun berangsur hilang. ah, cuma setengah jam rupanya. kurang, aku ingin lebih. kutekan lagi luka yang baru kubuat itu. rasa perihnya kembali menghujam otakku dan darah perlahan tapi pasti, mulai mengalir kembali. ya, ini lebih baik. jauh lebih baik.
apa kau bilang? tidak, tidak... aku tidak gila. aku hanya, hmm, katakanlah, kecanduan dengan perih ini. lapar akan sensasi ini. tentu kau tidak akan mengerti, kau bukan aku. aku juga tak akan memaksamu untuk mengerti. malah sejujurnya, aku tak peduli dengan apa yang kau pikirkan tentangku. aku suka perih ini. itu saja. 
aku sudah melakukan hal ini sejak dulu. sejak hatiku mulai merasa hampa. kapan itu? entahlah, aku pun sudah lupa. yang kuingat hanyalah dengan melukai diriku sendiri dan menikmati perih ini, mampu membuatku bertahan hidup. membuatku merasa lebih hidup. 
tiba-tiba aku merasa hampa lagi. seakan-akan ada sebuah lubang hitam yang muncul dari dasar hatiku dan menelan semua ke dalam kegelapan dan kehampaannya. ah, rupanya sensasi nyerinya mulai berkurang lagi. semakin lama,sensasi nyeri ini semakin cepat menghilang. aku benci kalau ini terjadi. kurasa aku butuh membuat luka yang lebih dalam lagi. lebih menyakitkan dari ini. pecahan kaca sialan ini tak cukup untuk melakukan tugasnya. brengsek. aku butuh sesuatu yang lebih tajam.
tangan kananku kalap membongkar laci meja di samping peraduanku. dan aku melihatnya. terbungkus kertas merah, semerah darahku. tanganku gemetar. aku tak sabar lagi. segera kubuka kertas yang membungkusnya.  dan lihatlah, dia seakan tersenyum menantiku. aku membalas senyumannya itu lalu mulai menekankan mata silet itu ke pergelangan tangan kiriku, tepat di bawah luka yang kubuat sebelumnya. kutekan dalam-dalam lalu kugores perlahan. sangat perlahan. aku ingin menikmati setiap detik perih yang tercipta itu. well, lakukan tugasmu dengan baik, siletku tercinta.
aku menghela nafas,merintih pelan. darah mulai mengalir dari luka itu. cepat dan banyak. sementara sensasi perih itu semakin intens, aku berbaring lalu memejamkan mata. entah sudah berapa lama ini terjadi. yang kutau, darahku terus saja mengalir tanpa henti. aku mulai merasa lelah dan pusing. tapi ini memang baru perih yang kunantikan. perih yang tak cepat usai. yang lebih baik lagi, hampa di hatiku perlahan mulai lenyap. tak pernah kusadari seiring dengan perih ini, detak jantung dan hembusan nafasku pun mulai melemah...

KETIKA KAMU MENINGGALKANKU


hampa.hampa.hampa.           hampa.hampa.hampa.
hampa.hampa.hampa.           hampa.hampa.hampa.
            hampa.                                   hampa.
            hampa.                                   hampa.
            hampa.hampa.hampa.hampa.hampa
            hampa.hampa.hampa.hampa.hampa.
            hampa.                                    hampa.
            hampa.                                    hampa.
hampa.hampa.hampa.            hampa.hampa.hampa.
hampa.hampa.hampa.            hampa.hampa.hampa.  

Menggores Kenangan


Menggores kenangan...
Setiap detik, menit, dan jam
Setiap hari, minggu, dan bulan
Juga tahun demi tahun kebersamaan

Menggores kenangan...
Setiap tetes airmata
Setiap untai senyuman
Setiap amarah juga diam kita

Menggores kenangan...
Yang kelak akan tetap kusimpan
Yang nanti harus kau lupakan
Demi sebuah masa depan

Menggores...
Aku...
Kamu...
Kenangan...

Tawa Getir


Aku mengernyit ketika powder puff menyentuh pipiku. Entah berapa kali sudah kuoleskan segala jenis foundation dan bedak yang kumiliki, tapi nampaknya percuma saja. Bias biru keunguan masih mengintip di sudut pipiku. brengsek! harus bagaimana lagi biar lebam ini tersamarkan?! kuraih lampu meja di samping kananku lalu melemparkannya sekuat tenaga ke cermin di hadapanku. cermin itu mengerang pelan lalu retak tepat di tempat dia memantulkan wajahku. aku masih menatap cermin di hadapanku, beratus-ratus wajah dengan pipi lebam berbalik menatapku. sebagian tertawa mengejek. sebagian membentakku, marah karena dijadikan pelampiasanku. sebagian lagi menatapku dengan tatapan aneh.  

"Tidak! apa yang kalian lihat? dasar bajingan!!!" kulempar lagi cermin itu dengan apa pun yang bisa kuraih. nafasku memburu. kesal, takut, dan lelah. semua bercampur, semua menyatu. mataku terasa panas, airmata mulai menggenang di sudut mataku. sial... aku menangis lagi.

sebatang rokok berpindah dari kotaknya ke bibirku. ouch! perih. rupanya bibirku sobek. tak sadar aku, yang kulihat dari tadi hanyalah pipiku yang lebam. sambil menahan perih, kunyalakan sebatang rokok dengan tangan gemetar lalu menghisap rokokku dalam-dalam. begitu dalam sampai kurasakan kepulan asap memenuhi rongga paru-paruku lalu menghembuskannya lagi kuat-kuat. hisap. hembus. hisap lalu hembus. hanya itu kesibukanku sampai kusadari kotak rokokku kini telah kosong. kubanting kotak kosong itu, lalu bangkit berdiri. perlahan, setengah tertatih menuju ranjang.

di tepi ranjang kini aku duduk, menatap hampa ke pemandangan di hadapanku. berantakan. kamarku yang biasanya rapi, dengan segala benda tertata rapi dan bersih di tempatnya masing-masing kini tersebar tak karuan di sekeliling kamarku. jika kau ada di sini, aku berani bertaruh kau akan berpikir kamarku ini baru saja dilanda angin puting beliung. serius. ini lebih dari sekedar kacau. ini... hancur. aku menghela nafas. sehari ga bakal cukup untuk membereskan kekacauan ini...

kuambil boneka beruang kesayanganku. ukurannya yang ekstra besar membuatnya nyaman untuk dipeluk. tak kuacuhkan tangan kanannya yang hampir copot karena ulah si brengsek itu. tak apa, toh, masih bisa kujahit nanti. Tubuhku terasa nyaman ketika kujatuhkan ke atas ranjangku. sejujurnya sudah lama aku tidak merasa nyaman seperti ini. mungkin karena aku merasa tidak aman, sehingga nyaman seakan menjauh dariku. namun, itu dulu. sekarang aku tahu aku akan aman darinya. selamanya. bibirku melengkung membentuk senyum, masih tersisa perih di sudutnya. tak apa. perih itu kalah jauh dikubur aman dan nyaman ini. oh Tuhan, rasanya capek sekali... benar-benar capek...  

***

tersentak kaget aku ketika kubuka mataku. jam berapa ini? hari apa ini? sial, aku belum sempat masak! cucian juga belum kelar. mati aku... celaka! setengah meloncat, aku bangun dari ranjangku. sekujur tubuhku seakan rontok, sakit dan nyeri dimana-mana. tergopoh-gopoh aku bangkit berdiri lalu mulai melangkah menuju pintu. baru beberapa langkah ketika aku tersandung sesuatu lalu terjatuh mencium karpet kamarku. aku mengumpat pelan. apa lagi sekarang? kupicingkan mataku, susah untuk melihat dengan cahaya temaram ini. dibantu bias cahaya lampu balkon yang  mengintip dari celah tirai jendela kamar, aku merangkak mendekati benda yang membuatku tersandung tadi.

aku tidak ingat pernah memiliki benda sebesar ini di kamar atau meletakkannya di sini. kutatap benda tersebut, sehelai selimut tampat menutupinya. yang jelas ini bukan gulingku yang terjatuh di lantai. gulingku tak mungkin sekeras dan sekaku ini. ragu, kutarik kembali tanganku yang hampir menyentuh benda di hadapanku kini. apa ini? apa mungkin ini benda miliknya? kutarik nafas panjang, membulatkan tekadku kemudian menyingkap selimut yang menutupinya. aku tercekat. ingin berteriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. ingin menangis, tak ada airmata yang mengalir keluar. entah berapa lama aku terpaku, terbelalak menatapnya. tanganku masih memegang selimut yang tadi kusingkap. Revan, suamiku, terbujur kaku di hadapanku. matanya membelalak dengan mulut mulut menganga. sebuah gunting menancap tepat di jantungnya. banyak sekali bekas tikaman di sekujur tubuhnya. darah. darah dimana-mana.

aku bergidik ngeri. siapa yang tega melakukan ini? siapa?!!! lalu aku tersenyum. ah, iya! bodohnya diriku ini. tentu saja aku tahu siapa pelakunya. tentu saja aku tahu kenapa Revan sampai terbujur kaku di sini. si brengsek ini memang pantas mati. aku membungkukkan badan lalu mencium kening Revan. bau anyir darah menerjang indera penciumanku. selanjutnya yang kurasakan hanyalah dingin dan kaku, persis lantai ubin rumah kami yang tiap hari harus kupel. 
"Selamat tinggal,sayang. semoga kau bahagia di neraka sana!" aku berbisik di telinganya, berharap dia masih biasa mendengar ucapanku ini. tak puas dengan itu, aku pun meludahi wajahnya lalu bangkit berdiri. 
kupandangi lagi sekeliling kamar lalu mayat Revan. kutendang mayatnya sampai kakiku sakit lalu merentangkan kedua tanganku sambil berputar di tempat. aku aman sekarang! aman! aku berteriak, tertawa, mengerang, menangis lalu kembali tertawa. tertawa yang banyak. tertawa yang keras membahana. tertawa sampai-sampai aku tidak mendengar suara raungan sirene mobil polisi yang memecahkan heningnya malam.

----

Keesokan harinya, headline surat kabar nasional hampir semua bertuliskan : DEPRESI MENGALAMI KDRT BERTAHUN-TAHUN, SEORANG ISTRI TEGA MENGHABISI NYAWA SUAMINYA DENGAN BRUTAL.

Senja Pelangi Jingga


Siang ini ada hati yang berdetak lebih dari biasanya. Lebih cepat, lebih bersemangat. Iramanya memburu seperti dikejar pembunuh. Mungkin yang punya hati baru selesai olahraga atau habis minum viagra. Mungkin perasaannya yang sedang gundah. Sebuah tanya yang si-hati itu sendiri bingung menjawabnya. Matanya melihat ke kiri dan ke kanan, berulang-ulang seperti robot di taman hiburan. Sebenarnya, matanya sedang mencuri pandang ke sudut taman. Malu-malu memandang sosok yang duduk di kursi taman ujung jalan, yang sedang asik membaca buku bersampul jingga. 

Cepat-cepat dia memalingkan wajahnya, ketika sosok yang ditatapnya tersebut menoleh ke arahnya. Wajahnya seketika memerah bagai udang rebus. Malu? Sudah pasti. Gugup? Sangat. "Hai, boleh aku duduk di sini?" suara berat seorang pemuda menyapa telinganya, membuatnya terlonjak sedikit dari kursi taman yang didudukinya. Jantungnya berdetak semakin kencang dan cepat. Malu-malu dia menganggukkan kepala. 

Salah tingkah. Pura-pura membenarkan kacamata, malah jadi miring sebelah. Bibirnya yang dipoles tipis sewarna aslinya kini bergerak seolah ingin bicara tapi tertahan. Tangannya gelisah memilin ujung rambut kepangnya tanpa berani menatap pemuda di hadapannya. Pemuda yang sedari awal terus diamati sepenuh hati. "Bo..Boleh. Silahkan. Boleh kok." Jawabnya dengan gugup dilanjut tertawa nyengir, lalu diam dan tertunduk dengan wajah merah padam sambil sesekali melirik ke tangan pemuda tadi. Ke arah buku bersampul jingga. Pemuda itu duduk beberapa senti dari tempatnya duduk. Sementara ruang kosong di kursi taman tak mengharuskan jarak mereka sedekat itu. Jantungnya menari makin tak karuan, antara bahagia dan gelisah. 

Bingung harus bagaimana dan bicara apa, tangannya masih saja memilin ujung rambutnya. Hening berbicara diiringi desah nafas gelisahnya dan suara halaman buku yang dibalik. Sesekali diliriknya pemuda yang duduk di sampingnya kini. Mata pemuda itu sudah kembali terpaku pada buku bersampul jingga. Penasaran, dicobanya mengintip isi buku itu dengan diam-diam. Terlihat olehnya barisan huruf di halaman buku tersebut. Sayang, ukuran font-nya terlalu kecil untuk bisa dibacanya. Aksinya terhenti ketika tiba-tiba pemuda itu menutup bukunya lalu menatapnya sambil tersenyum. "Hobi baca juga?" tanya pemuda itu. Dia mengangguk. Pemuda itu menyodorkan buku bersampul jingga tersebut kepadanya. Dia terdiam. Ragu. 

Ada jedah panjang dalam kaku-nya tingkah mereka. Pemuda itu menyodorkan buku sambil menunggu gadis belia menerimanya dalam gerakan lamban dengan kepala tertunduk. Saat telunjuknya menyentuh buku itu, seketika itu juga ia menyambar seperti belut listrik menerkam mangsa. Pemuda itu dibuat hampir tersentak. Kaget pastinya. Sekarang giliran pemuda itu yang salah tingkah, garuk-garuk kepala dengan ekspresi muka yang terlihat sedikit kecewa. Tapi pemuda itu berusaha terlihat biasa-biasa saja sambil melebarkan senyum tipis melihat gadis itu mulai sibuk membuka lembaran buku yang kini dipegangnya. Pemuda itu memperhatikan lekuk hidung dan bibir gadis itu, lalu tersipu malu sendiri dan memalingkan muka, seolah baru saja tertangkap basah berbuat salah. 

Ada getar aneh merambat perlahan di jantung hati pemuda tersebut. Getaran yang membuat duduknya tak lagi nyaman. Yang membuatnya tersenyum kikuk selagi menatap gadis itu untuk kesekian kalinya. Dengan sembunyi-sembunyi tentunya. Sementara itu, keadaan seakan berbalik sekarang. Gadis di sampingnya mulai terlena dengan buku bersampul jingga. Pemuda itu tak heran sebenarnya, buku bersampul jingga tersebut seperti candu bagi penikmat buku. Sekali telunjukmu menyentuh halaman pertama buku tersebut, nyaris tidak mungkin melepaskan genggaman dan pandanganmu dari barisan kata di dalamnya. Pemuda itu semakin gelisah, wangi parfum gadis itu menggelitik hidungnya. Sedap malam bercampur dengan entahlah, daun teh, mungkin? Pemuda itu tak yakin sepenuhnya, yang jelas wangi parfum ini membuainya dengan cara yang mengerikan. Bagai serangga yang tanpa sadar melangkah menuju mulut Kantung Semar. 

Waktu bergulir, terasa lama sekali. Pemuda itu mulai gatal ingin berkenalan. Otaknya sibuk mencari cara untuk menarik perhatian gadis itu. Mulai dari pura-pura batuk, menatap terus-menerus, hingga bersin dan senggolan ringan sama sekali tak dihiraukan gadis yang kini terpaku dalam lembaran-lembaran baru. Pemuda itu mulai kesal dan bosan. Ia bersandar ke punggung kursi dan terdiam, sambil sesekali masih melirik ke arah gadis di sebelahnya. "Seru amat bacanya." Ia menyindir dengan nada halus. "Iya, lagi seru nih. Gue kelarin dulu ya." Gadis itu menjawab dengan nada dan gaya yang sama sekali berbeda. 

Merasa bosan dan tak diacuhkan, pemuda tersebut mulai kesal. Tanpa tedeng aling-aling, dirampasnya buku yang dipegang sang gadis. Cepat dan kuat. Gadis itu tersentak kaget lalu menoleh menatap sang pemuda. Matanya membara, jelas sekali dia marah dan merasa terganggu dengan ulah sang pemuda. "Gue rasa sudah cukup waktu lo buat baca ini buku," ujarnya sambil memegang erat buku bersampul jingga. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, sepertinya sedang menahan amarahnya. Kemudian dengan perlahan dilepaskan kacamata lalu mengurai rambutnya yang tadinya dikepang dua. Rambutnya yang hitam, panjang dan lurus kini tergerai bebas. Sambil memiringkan kepalanya sedikit ke kanan, gadis itu tersenyum sinis. Pemuda itu tersentak kaget, gadis di hadapannya sekarang benar-benar berbeda dengan gadis yang hendak dia goda tadi. Tidak ada lagi kesan polos, culun, dan gugup darinya sekarang. Tanpa disadari, tubuhnya mulai bergidik ngeri. Intuisinya mengatakan bahwa dia harus lari sejauh mungkin dari gadis ini. Bahwa gadis ini berbahaya. Namun, seperti yang sudah sering dia lakukan, diabaikan suara-suara peringatan di kepalanya. Sebagian karena dia tertarik dengan gadis ini, sebagian lagi karena dia terlalu malu mengakui bahwa dia takut dengan gadis yang duduk di hadapannya saat ini. 

"Jadi... Lo penulis buku ini kan?" Gadis itu bertanya dengan mata tajam menusuk. Tubuhnya begerak condong ke arah pemuda yang kini terlihat gugup dan sedikit gemetar. Gadis itu seperti macan betina yang siap menerkam mangsanya. "Lo tahu kenapa gue setiap hari duduk di sini menatap lo ?" Gadis itu melanjutkan kata-katanya sambil terus menyingkat jarak di antara mereka. "Gue... Ratna. Anak dari penulis buku itu, yang isinya lo curi." Mata gadis itu kini membara penuh dengan api neraka. 

Matahari mulai terbenam, lampu-lampu taman yang temaram mulai menyala. Sepi sekali taman itu sekarang, hanya tersisa dia dan Ratna di taman ini. Pemuda itu masih terbelalak, jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia menelan ludah dengan susah payah, mulutnya membuka lalu mengatup lagi. Megap-megap seperti ikan mas yang tergeletak di tepi kolam. Tak ada sepatah katapun yang meluncur keluar dari bibirnya. Tak banyak yang dia tahu tentang Ratna sebenarnya, kecuali bahwa gadis itu merupakan anak dari Pak Cipto. Tanpa diinginkan, sosok lelaki tua sederhana yang berkacamata dengan kepala hampir botak menari di benaknya. Lelaki itu Pak Cipto, si penjaga perpustakaan tua di dekat kampusnya dulu. Pak Cipto memiliki bakat dan kegemaran menulis berbagai macam cerita di dalam sebuah buku tulis lusuh. Cerita-cerita yang ditulisnya sangat menarik untuk dibaca. Setiap cerita yang dirangkainya selalu terselip petuah hidup yang indah tapi tidak menggurui bagi pembacanya. Pemuda itu memang dikenal dekat dengan Pak Cipto, hampir semua tulisan Pak Cipto dilumatnya. Buku tulis lusuh itulah yang suatu sore tanpa disengaja ditemukan olehnya tergeletak di sebuah meja perpustakaan. Yang kemudian dibawanya pulang lalu semua isinya diketiknya ulang di komputer. Pemuda itu mengirimkannya ke penerbit dengan menyertakan namanya sendiri sebagai sang penulis. Buku bersampul jingga, yang lima tahun yang lalu berhasil diterbitkan dan menjadi Best Seller di seantereo negri ini. Sejak saat itulah dia selalu menghindari Pak Cipto kemana pun dia pergi. Sebagian karena malu, sebagian lagi karena pemuda itu takut ketahuan bahwa dia hanyalah seorang plagiat. 

Angin malam bersiul pelan di antara Ratna dan pemuda yang tampak berkeringat bukan karena gerah. Keringat dingin hasil suling dari rasa cemas, takut, dan malu. Pemuda itu hampir berhasil berucap tapi didahului oleh Ranta. "Gak nyangka kan lo, kalau ternyata kecurangan lo bakal ketahuan." Gadis itu menyindir ketus. "Lo tau apa yang terjadi setelah buku 'pelangi jingga' terbit ? Bapak ku gak pernah sekalipun mengutuk perbuatanmu. Bahkan gak ada niatan meminta hak atas karyanya. Bapakku mati di kamar belakang perpustakaan karena sakit. Seharusnya Bapak bisa selamat kalau ada uang untuk berobat. Seharusnya elo punya nurani buat sekedar membayarkan biaya rumah sakit !" Air mata mengalir dari kedua mata Ratna. Kepalanya tertunduk di dada pemuda yang sekarang berkaca-kaca. "Ratna... Maaf, gue gak tau kalo Pak Cipto sakit. Gue gak sanggup melihat wajahnya setelah apa yang gue perbuat." Tangisan ratna terhenti dan berubah menjadi tawa kecil yang mengerikan. Kedua tangannya mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah. "Elo... Banyak bacot. Telat !!! Bapak uda MATI !" Ratna mengeluarkan sebilah belati dari balik jaket hoodie abu-abunya. 

Sang pemuda mengerang kesakitan ketika belati itu bersarang di perutnya. Dinginnya belati bercampur dengan panas membara dan gempuran rasa sakit menyiksa dirinya. Nafasnya tersengal-sengal menahan perih. Tidak, dia tidak boleh diam saja menunggu mati,pikirnya. Dengan sekuat tenaga dikepalkan tangannya lalu berusaha memukul Ratna dengan membabibuta. Berharap pukulan-pukulannya dapat mengenai gadis yang sedang menduduki tubuhnya. Sia-sia saja. Ratna tidak seperti wanita pada umumnya yang lemah dan memiliki tenaga kurang dari lelaki rupanya. Jemari lentik Ratna melayang menepis pukulan pemuda itu lalu telak mengenai wajahnya. Pemuda itu kelelahan, perutnya makin terasa sakit. Dia membuka mulutnya, berteriak minta tolong. Percuma, tentu saja percuma. Taman ini terletak di pinggiran kota dan tidak banyak dikunjungin orang, apalagi setelah matahari terbenam. Sebuah tamparan menghantam wajahnya lagi. Kelelahan, pemuda itu terbaring diam di tanah. Ratna masih bergeming, tak ada suara yang keluar dari bibir mungilnya. Sedetik kemudian, tangannya mencengkeram gagang belati lalu memutarnya perlahan-lahan. Pemuda itu berteriak kesakitan. Nafasnya tertahan ketika dirasakan belati itu ditarik menjauh dari perutnya. 

Dendam dan benci sudah merasuki Ratna, jauh dalam hatinya dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah penyebab kematian ayahnya. Tapi Bapak semakin parah sakitnya setelah buku itu terbit, pikirnya geram. Ditatapnya pemuda yang terbaring lemah, wajahnya yang tampan itu mulai memucat pertanda mulai kehabisan darah. Mati! Dia harus mati! Kata itu berulang-ulang berteriak di benaknya. Dikencangkan pegangannya ke gagang belati kemudian ditusukkannya berkali-kali ke sekujur tubuh pemuda itu sambil berteriak histeris. Buku bersampul jingga tergeletak di samping tubuh pemuda yang kian pasrah. Jingga berhias percikan darah. Ratna mulai kehabisan tenaga dan gerakannya makin pelan. Belati terlepas dari genggamannya. Perlahan ia lihat kedua telapak tangannya yang berlumuran darah, dan penuh goresan luka. Luka goresan belati yang tadi dipegangnya. Tak terasa sakit, karena lebih sakit hatinya yang luka akibat kematian Bapak yang paling dicintainya. Bapak yang membesarkan Ratna dari kecil karena Ibu pergi meninggalkan mereka. Pemuda ini. Pemuda ini seharusnya bisa menolong Bapak saat itu. Tapi dia sibuk dengan ketenaran palsu yang direbut dari Bapak. Ratna masih menduduki tubuh lemas pria itu yang kini meregang nyawa. Ratna makin histeris memukul jasad yang kaku. "Bangun loe... jangan mati segampang ini. Bangun ! Bangun !!!" Gadis itu merasa belum cukup membayar dendamnya. Masih terus dipukulnya jasad itu hingga bulan membumbung tinggi di atas mereka. Buku bersampul jingga tergeletak kaku, seperti jasad pemuda itu, seperti Ratna yang terduduk diam dan kosong setelah dendamnya meluap lepas.

Sebuah cerpen kolaborasi Jony Kho & Yerikho