Kemana dia? Udah dua hari dia absen. Apa dia sakit? Nggak mungin! Dia sehat, sangat sehat. Nggak seperti aku yang penyakitan ini. Dia anak yang kuat. Jadi nggak mungkin dia sakit. Aku menatap ke kursi sebelah. Sosok yang biasa duduk di samping itu tak nampak hari ini. Mungkin dia belum datang. Mungkin dia telat hari ini. Lagian baru jam enam lebih lima puluh menit. Masih ada lima menit tersisa sebelum bel masuk bunyi. Ya, dia pasti telat. Aku kenal dia. Aku tau semua tentang dia. Dia pasti masuk hari ini. Semoga…
KRINGGG….!!!
Bel baru aja bunyi, tapi dia belum datang juga. Masa dia beneran nggak masuk lagi hari ini? Apa mungkin gara-gara kejadian itu? Oh, kuharap bukan karena itu dia nggak masuk hari ini. Lebih baik aku mati daripada dia membenciku. Tuhan, jangan buat dia membenciku. Tolong, jangan jauhkan aku dari Redoku… Aku meremas tanganku, gelisah dan takut berbaur di hatiku. Biasanya kalo aku mulai meremas tangan seperti ini, Redo pasti menonjok pelan bahuku. Lalu dengan santainya dia akan cerita salah satu lelucon joroknya sampai aku sakit perut menahan tawa.
Sial, Pak Yo udah masuk kelas. Kamu beneran nggak masuk, Do? Aku bisa mendengar Pak Yo yang mulai menyuruh Linda, sekretaris kelas, mencatat teori ekonomi di whiteboard. Seperti biasanya, bapak tua satu itu terlalu malas untuk mengajar. Heran, kenapa masih ada guru seperti dia. Ah, aku jadi teringat artikel yang kubaca di koran beberapa hari yang lalu. UPAH GURU DIBAWAH MINIMUM, begitu headline koran itu. Mungkin itu alasannya, guru-guru seperti Pak Yo enggan mengajar di kelas. Nggak heran, Indonesia semakin tertinggal. Kalo sudah begini, kami –generasi muda yang notabene siswa yang dirugikan dan ditekan. Huh, benar-benar adil orang-orang (sok) dewasa itu…
Buku catatanku mulai terisi teori-teori ekonomi. Seharusnya nggak perlu dicatat lagi. Ralat. Disalin tepatnya, secara semua yang dicatatkan di whiteboard itu memang hanya menyalin buku cetak yang harus kami beli kalo nggak mau kena hukuman Pak Yo. Benar-benar pemborosan uang dan waktu, begitu yang sering dikatakan Redo padaku.
Well, kau harus lihat buku-buku catatan Redo. Kosong. Seputih kulitku yang pucat. Redo terlalu malas untuk mencatat apapun juga. Dia nggak suka mencatat. Pelajaran apapun itu. Tapi biarpun begitu Redo anak yang cerdas. Buktinya dia berhasil masuk ranking sepuluh besar di kelasku, kelas unggulan di sekolah kami. Mungkin itu sebabnya nggak ada guru yang berani protes kalo dia nggak pernah mencatat.
Aku menatap hampa. Redo bener-bener absen hari ini. udah break pertama, nggak mungkin dia masuk sekolah kalo kayak gini. Rasanya aneh tanpa Redo di sekolah ini. Dia alasanku bertahan di sini. Walau harus mati-matian membujuk mama dan papa biar bisa ke sekolah. Kebingungan makin menguasaiku. Haa, abis ini olahraga… Pelajaran terkutuk yang paling kubenci. Mungkin karena aku nggak boleh olahraga. Kau pasti sudah tau alasannya kenapa. Yup, karena aku terlalu lemah untuk hal-hal seperti itu.
Jam olahraga biasanya hanya kuhabiskan dengan duduk di bangku pinggir lapangan. Menonton Redo bermain basket bersama teman-teman kelasku yang lain. Menatapnya iri sekaligus kagum. Redo pebasket yang tangguh. Dia pernah ditawari menjadi pemain inti di team nasional. Sayangnya, tawaran itu ditolaknya. Males, alasannya ketika aku bertanya kenapa. Ya, itulah Redo. Tak pernah mau dikekang. Bebas dan liar. Seperti angin yang membuaimu lembut lalu mengacak rambutmu sambil tertawa terbang menjauh. Ada dan dekat tapi tak pernah bisa kumiliki.
Lapangan basket nampak sepi. Ya nggak sepi sebenarnya, masih banyak teman-temanku yang bermain di sana. Hanya saja bagiku lapangan itu tampak sepi. Tidak hidup. Mungkin karena nggak ada Redo di sana. Mungkin… Aku juga nggak begitu yakin. Sama seperti aku yang nggak yakin dengan tujuanku dilahirkan di dunia ini.
***
Sial, aku nggak bisa konsen dengan penjelasan Ms. Tina tentang tenses. Gimana bisa ngerti kalo apa yang dia omongin aja aku nggak ngerti artinya. Emang sih bahasa Inggris itu penting banget buat dipelajarin. Tapi nggak mesti jelasinnya pake bahasa Inggris juga kan? Dijelasin pake bahasa Indonesia aja aku yakin belum tentu banyak yang ngerti. . Oke, oke aku akuin emang aku payah di pelajaran bahasa Inggris. Maksudku, benar-benar PAYAH. Tapi apa yang aku ngomongin juga bener kan? Hayoo ngaku aja deh kalian semua.
Ketidakmengertianku membuat pikiranku melayang ke kejadian tiga hari yang lalu. Wajahku tanpa tedeng aling-aling langsung memerah. Teringat bagaimana aku mencium Redo saat itu. Entah darimana keberanian macam itu kudapatkan. Aku pasti sudah gila. Bener-bener gila! Tapi, bukankah cinta terkadang membuat kita jadi gila mendadak??
Tiga hari yang lalu, aku terpaksa duduk di kelas sedikit lebih lama karena penyakit sialanku kambuh. Yang lain udah pada pulang, hanya ada Redo yang menungguiku dengan wajah prihatin. Kalo mau jujur aku paling benci jika ada orang yang melihatku dengan tatapan prihatin atau kasihan. Emangnya hanya karena aku penyakitan lalu patut dikasihani?! Nggak kan! Tapi berhubung itu Redo, ya apa boleh buat. Pengecualian buat Redo. Hanya untuknya. Diam-diam aku senang banget karena Redo care kayak gini.
Tangan Redo membelai punggungku lembut. Darahku berdesir cepat, jantungku tiba-tiba berdetak makin kencang. Sangking kencangnya aku sampe takut Redo bisa mendengarnya.
“Udah baikan?”
Aku mengangguk, kepalaku tertunduk. Malu kalo sampe Redo melihat semburat merah di pipiku saat ini.
Dia menelengkan kepala, berusaha menatap wajahku. “Bener udah baikan?” Wajah kami begitu dekatnya sampai-sampai aku bisa mencium aroma permen kesukaannya dari desah nafasnya ketika dia berkata, “Kamu pucat banget…”
Kudongakkan kepala memandangnya. Bibir kami hanya berjarak beberapa centi. Lalu entah apa yang merasukiku saat itu, bukannya menjauh aku malah makin mendekatkan bibirku. Detik berikutnya aku sudah melumat bibir Redo yang merah. Dia menggerakkan kepalanya ke belakang, berusaha menjauh dariku. Aku segera memeluknya erat, tak rela ciuman ini terhenti. Redo hanya bisa terpaku sejenak sebelum akhirnya membalas ciumanku. Tiba-tiba Redo mendorongku lembut, kali ini aku melepaskannya. Matanya sayu menatapku.
Dadaku terasa penuh sampai rasanya mau meledak. Penuh dengan bimbang. Penuh dengan gelisah. Penuh juga dengan cinta dan gairah yang meluap-luap. Ini pertama kalinya aku mencium seseorang. Ciuman pertamaku. Apple-mint. Bibir dan lidah Redo rasanya seperti permen apple-mint. Membuatku mabuk dan ketagihan sampai saat ini.
Ada apa, tanyaku waktu itu. Redo tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Tak pernah aku melihatnya selemah ini sebelumnya. Karena akukah? Karena ciuman kamikah? Redo berbalik lalu berlari menjauh meninggalkan aku sendirian di kelas. Tiba-tiba aku merasa bodoh. Bodoh karena berani menciumnya seperti itu. Sekarang dia pasti membenciku. Pasti…
***
KRINGGG…
Desah nafas lega bercampur sorakan bergemuruh di kelasku. Aku segera memasukkan buku dan alat tulisku ke dalam ransel. Lewat juga hari ini tanpa Redo. Sepi. Hampa. Aku menarik nafas dalam. Ada rindu menyelusup dalam hatiku. Aku rindu Redo. Seandainya saja aku nggak gegabah menciumnya, tentu hari ini dia masih di sampingku. Menemaniku dengan segala tingkah konyolnya. Kamu marah, Do? Kamu marah sama aku? Jika ya, bilang aja, Do. Jangan kayak gini. Jangan hukum aku dengan cara ini…
Aku melangkah perlahan menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Pak Man, sopirku, belum datang menjemputku. Hari ini sekolah dibubarkan lebih awal, ada rapat guru katanya. Hapeku berbunyi, paling sms balesan dari mama. Tadi aku emang sms mama ngabarin aku pulang cepet biar Pak Man nggak kelamaan jemput.
1 new message.
Nama yang tertera di layar hapeku membuat jantungku berdebar-debar.
Opening…
Redo_skul :
Dah blk? Ak mo ngmg sm kmu. Ak d kls skrg. Jgn ampe ktauan yg lain palg guru.
Segera aku berlari ke kelasku. Redo. Dia di sini. Redo di sini! Nafasku terengah-engah ketika aku sampai di kelas kami yang kosong. Dia berdiri membelakangiku. Seragam sekolahnya tampak kusut.
“Do…” panggilku pelan.
Dia menoleh. Rambutnya yang dipotong mengikuti model harajuku berantakan dipermainkan angin. Wajah tampan Redo sedikit menegang melihatku. Dia gugup. Percayalah, aku tau itu walau Redo mati-matian menutupinya.
“Kamu kemana aja dua hari ini? Aku telepon nggak diangkat, sms juga nggak dibales.”
Redo menatapku dengan cara yang nggak pernah dia lakukan sebelumnya. Bingung, benci tapi juga ada hangat terpancar. Dia membasahi bibirnya yang nampak kering. Bibir itu yang kucium tiga hari yang lalu… Astaga! Apa yang kupikirkan?!
Tenggorokanku rasanya ditumbuhi duri, susah banget mau ngomong. Ada apa denganku? “Kamu… kamu marah?” tanyaku setelah bersusah payah.
“Nggak…” Redo memalingkan wajahnya sejenak. “Aku cuma bingung. Aku nggak bisa ketemu kamu dulu, Na… Itu aja.”
“Makanya kamu bolos dua hari ini?” tembakku langsung. Dia mengangguk pelan.
“Aku…” Suaraku serak, nyaris nggak terdengar. Aku menggelengkan kepala, mencoba menghalau gugupku. “Aku suka kamu…” Aku menarik nafas sebelum akhirnya menyambung, “Aku tau kamu pasti berpikir aku gila atau aneh, Do. Tapi ini benar, aku suka kamu…”
Redo diam. Dia masih tetap memandangku. “Aku tau…”
Aku menantinya melanjutkan kalimatnya. Aku tau dia belum selesai.
“Dan… Aku sama sekali nggak berpikir kamu gila.”
“Benar?” tanyaku penasaran.
Dia mengangguk. “Itu hak kamu, Narada. Hak kamu untuk mencintai siapa aja…” Dia diam lagi. Dia nggak pernah diam seperti ini, dan aku benci Redo yang kayak gini. “Tapi kenapa aku? Kenapa harus aku yang kamu suka?” sambungnya lagi. Wajahnya lebih kuyu daripada tadi.
Aku mengernyitkan dahi, nggak tau harus jawab apa. Seharusnya kamu jangan tanyakan itu, Do. Kamu nggak tau gimana susahnya aku menjawab pertanyaan itu. Jauh… Jauh sebelum kamu bertanya, aku sudah lebih dulu mempertanyakan hal itu kepada diriku sendiri. Mengapa aku menyukaimu? Mengapa aku menyukai cowok kayak kamu, Do? Mengapa tiap mimpiku selalu dipenuhi sosokmu? Aku udah mencoba mencari jawabnya, Do. Tapi nihil. Yang aku tau aku mencintaimu. Aku suka Redo. Aku cinta Redo!
“Aku… Ini salah, Na. Nggak harusnya kita…. Nggak pantes kita ciuman waktu itu!” Redo menunduk, suaranya terdengar aneh. Menangiskah dia?
“Maafin aku, Do…” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Rido menggelengkan kepala kuat-kuat. “Kamu nggak salah, Na! Sama sekali nggak salah. Yang salah itu aku…” Redo terisak. “Aku yang salah karena aku juga suka kamu, Na..”
Apa?! Apa aku nggak salah dengar? Apa yang dikatakan Redo tadi? Dia… Dia juga suka aku?
Aku berjalan mendekati Redo lalu memeluknya erat. “Kalo gitu apa lagi yang perlu kita omongin lagi, Do? Kita sama-sama saling cinta. Apa yang salah dari itu?”
Redo membenamkan wajahnya ke pundakku. Suaranya mendesah, berbisik pelan di telingaku, “Karena… Karena kita sama-sama cowok, Narada. Itu yang salah…”
Aku terpaku. Mendadak, desir angin terdengar begitu kuat mengisi gendang telingaku. Desir dari angin yang bebas dan liar. Angin yang nggak akan bisa kurengkuh selamanya…