Aku mengernyit ketika powder puff menyentuh pipiku. Entah berapa kali sudah kuoleskan segala jenis foundation dan bedak yang kumiliki, tapi nampaknya percuma saja. Bias biru keunguan masih mengintip di sudut pipiku. brengsek! harus bagaimana lagi biar lebam ini tersamarkan?! kuraih lampu meja di samping kananku lalu melemparkannya sekuat tenaga ke cermin di hadapanku. cermin itu mengerang pelan lalu retak tepat di tempat dia memantulkan wajahku. aku masih menatap cermin di hadapanku, beratus-ratus wajah dengan pipi lebam berbalik menatapku. sebagian tertawa mengejek. sebagian membentakku, marah karena dijadikan pelampiasanku. sebagian lagi menatapku dengan tatapan aneh.
"Tidak! apa yang kalian lihat? dasar bajingan!!!" kulempar lagi cermin itu dengan apa pun yang bisa kuraih. nafasku memburu. kesal, takut, dan lelah. semua bercampur, semua menyatu. mataku terasa panas, airmata mulai menggenang di sudut mataku. sial... aku menangis lagi.
sebatang rokok berpindah dari kotaknya ke bibirku. ouch! perih. rupanya bibirku sobek. tak sadar aku, yang kulihat dari tadi hanyalah pipiku yang lebam. sambil menahan perih, kunyalakan sebatang rokok dengan tangan gemetar lalu menghisap rokokku dalam-dalam. begitu dalam sampai kurasakan kepulan asap memenuhi rongga paru-paruku lalu menghembuskannya lagi kuat-kuat. hisap. hembus. hisap lalu hembus. hanya itu kesibukanku sampai kusadari kotak rokokku kini telah kosong. kubanting kotak kosong itu, lalu bangkit berdiri. perlahan, setengah tertatih menuju ranjang.
di tepi ranjang kini aku duduk, menatap hampa ke pemandangan di hadapanku. berantakan. kamarku yang biasanya rapi, dengan segala benda tertata rapi dan bersih di tempatnya masing-masing kini tersebar tak karuan di sekeliling kamarku. jika kau ada di sini, aku berani bertaruh kau akan berpikir kamarku ini baru saja dilanda angin puting beliung. serius. ini lebih dari sekedar kacau. ini... hancur. aku menghela nafas. sehari ga bakal cukup untuk membereskan kekacauan ini...
kuambil boneka beruang kesayanganku. ukurannya yang ekstra besar membuatnya nyaman untuk dipeluk. tak kuacuhkan tangan kanannya yang hampir copot karena ulah si brengsek itu. tak apa, toh, masih bisa kujahit nanti. Tubuhku terasa nyaman ketika kujatuhkan ke atas ranjangku. sejujurnya sudah lama aku tidak merasa nyaman seperti ini. mungkin karena aku merasa tidak aman, sehingga nyaman seakan menjauh dariku. namun, itu dulu. sekarang aku tahu aku akan aman darinya. selamanya. bibirku melengkung membentuk senyum, masih tersisa perih di sudutnya. tak apa. perih itu kalah jauh dikubur aman dan nyaman ini. oh Tuhan, rasanya capek sekali... benar-benar capek...
***
tersentak kaget aku ketika kubuka mataku. jam berapa ini? hari apa ini? sial, aku belum sempat masak! cucian juga belum kelar. mati aku... celaka! setengah meloncat, aku bangun dari ranjangku. sekujur tubuhku seakan rontok, sakit dan nyeri dimana-mana. tergopoh-gopoh aku bangkit berdiri lalu mulai melangkah menuju pintu. baru beberapa langkah ketika aku tersandung sesuatu lalu terjatuh mencium karpet kamarku. aku mengumpat pelan. apa lagi sekarang? kupicingkan mataku, susah untuk melihat dengan cahaya temaram ini. dibantu bias cahaya lampu balkon yang mengintip dari celah tirai jendela kamar, aku merangkak mendekati benda yang membuatku tersandung tadi.
aku tidak ingat pernah memiliki benda sebesar ini di kamar atau meletakkannya di sini. kutatap benda tersebut, sehelai selimut tampat menutupinya. yang jelas ini bukan gulingku yang terjatuh di lantai. gulingku tak mungkin sekeras dan sekaku ini. ragu, kutarik kembali tanganku yang hampir menyentuh benda di hadapanku kini. apa ini? apa mungkin ini benda miliknya? kutarik nafas panjang, membulatkan tekadku kemudian menyingkap selimut yang menutupinya. aku tercekat. ingin berteriak tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. ingin menangis, tak ada airmata yang mengalir keluar. entah berapa lama aku terpaku, terbelalak menatapnya. tanganku masih memegang selimut yang tadi kusingkap. Revan, suamiku, terbujur kaku di hadapanku. matanya membelalak dengan mulut mulut menganga. sebuah gunting menancap tepat di jantungnya. banyak sekali bekas tikaman di sekujur tubuhnya. darah. darah dimana-mana.
aku bergidik ngeri. siapa yang tega melakukan ini? siapa?!!! lalu aku tersenyum. ah, iya! bodohnya diriku ini. tentu saja aku tahu siapa pelakunya. tentu saja aku tahu kenapa Revan sampai terbujur kaku di sini. si brengsek ini memang pantas mati. aku membungkukkan badan lalu mencium kening Revan. bau anyir darah menerjang indera penciumanku. selanjutnya yang kurasakan hanyalah dingin dan kaku, persis lantai ubin rumah kami yang tiap hari harus kupel.
"Selamat tinggal,sayang. semoga kau bahagia di neraka sana!" aku berbisik di telinganya, berharap dia masih biasa mendengar ucapanku ini. tak puas dengan itu, aku pun meludahi wajahnya lalu bangkit berdiri.
kupandangi lagi sekeliling kamar lalu mayat Revan. kutendang mayatnya sampai kakiku sakit lalu merentangkan kedua tanganku sambil berputar di tempat. aku aman sekarang! aman! aku berteriak, tertawa, mengerang, menangis lalu kembali tertawa. tertawa yang banyak. tertawa yang keras membahana. tertawa sampai-sampai aku tidak mendengar suara raungan sirene mobil polisi yang memecahkan heningnya malam.
----
Keesokan harinya, headline surat kabar nasional hampir semua bertuliskan : DEPRESI MENGALAMI KDRT BERTAHUN-TAHUN, SEORANG ISTRI TEGA MENGHABISI NYAWA SUAMINYA DENGAN BRUTAL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar